Pamer Pacar

445 17 0
                                    

"Ini pacarku, Silvy." Solihin menoleh padaku. "Sil, ini Alisa dan pacarnya, Andre."

Ini sudah kesekian kalinya Solihin mengenalkanku pada temannya. Dia senang sekali mengenalkanku dengan teman-temannya, meski mayoritas dari mereka tidak percaya dan menuduhnya memeletku. Dia hanya tersenyum bangga menanggapi tuduhan teman-temannya, tidak peduli.

Aku menyalami Alisa dan Andre bergantian.

"Ya ampun, Lihin. Jadi gosip kamu punya pacar bidadari itu sungguhan?" Andre menatapku takjub, berlama-lama menggenggam tanganku.

Solihin memukul pelan tangan Andre, memaksanya melepas tanganku. "Sudah, jangan lama-lama, nanti kamu naksir pacarku."

“Kalau kamu sudah bosan dengan Lihin, kabari aku, ya.” Andre mengerling padaku sambil tersenyum jahil.

Solihin melotot pada Andre. Aku hanya tertawa melihatnya. Sebenarnya, Solihin tidak jelek-jelek amat. Hidungnya bangir dan tatapan matanya tajam—mungkin mata itulah yang disebut mata elang dalam beberapa buku yang kubaca. Tinggi badannya cukup untuk ukuran laki-laki meski hanya berbeda empat senti denganku. Tapi warna kulitnya gelap sekali, agak dekil, dan kurus. Kontras sekali dengan kulitku yang putih bersih. Teman-temannya meledek kami bagai kopi dan susu.

Kami punya janji kencan ganda hari ini. Rencananya, kami akan makan siang bersama dan menonton film. Ini pertama kalinya aku menonton film dengan Solihin. Selama ini aku selalu menolak jika diajak menonton berdua saja dengannya. Otakku sudah terlalu tercemar oleh Desi.

Desi adalah salah seorang teman sekelasku. Ia selalu menceritakan pengalaman berpacarannya dengan seorang pria dewasa yang sudah bekerja. Perbedaan usia mereka lumayan jauh, tujuh tahun. Terlalu sering mendengar ceritanya membuatku takut untuk berdekatan dengan laki-laki, bahkan Solihin sekalipun.

Solihin agak berbeda hari ini. Dia selalu menggenggam tanganku erat, berbisik lembut di telingaku, berlama-lama menatap mataku. Perubahan sikapnya ini membuatku risi. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku jadi khawatir dia akan mulai berani meminta yang aneh-aneh. Ternyata aku salah, bukan itu tujuannya.

“Kak In menyukai Alisa?” Aku bertanya setelah kami berpisah dengan Andre dan pacarnya, menuju kendaraan masing-masing.

“Eh?” Solihin membelalakkan matanya terkejut. Dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, terlihat salah tingkah. Melihat gelagatnya, sepertinya jawabannya iya. “Itu dulu, kok.”

“Sekarang?”

“Sekarang aku sudah punya kamu.” Solihin tersenyum getir.

“Kak In ditolak, ya?” Aku menyeringai, menggodanya.

“Tidak sampai seperti itu.” Solihin mengerucutkan bibir, cemberut. “Kami hanya pernah dekat, dan tiba-tiba saja dia mengenalkan Andre sebagai pacarnya.”

“Jangan-jangan, Kak In memacariku hanya untuk membuktikan bahwa Kak In bisa dapat yang lebih baik dari dia?”

“Kamu percaya diri sekali.” Solihin tertawa dan mengacak rambutku. Suara tawanya terdengar agak sumbang. Sepertinya tebakanku tepat sasaran.

Aku cemberut, membuka ikatan rambutku dan menyisirnya dengan jari sebelum mulai mengikatnya lagi. Aku sebal sekali jika dia mengacak rambutku yang terikat.

“Sudah biarkan saja. Aku lebih suka melihat rambutmu terurai.” Solihin menyelipkan anak-anak rambut ke balik telingaku.

Aku menunduk, memasukkan ikat rambut ke saku rok abu-abuku, menghindari tatapan matanya yang tajam. Tiba-tiba aku merasa gugup.

“Sudah sore. Ayo, kuantar pulang.”

Aku mengangguk kaku.

Aku kecewa dia tidak benar-benar menyukaiku. Tapi aku juga begitu. Aku menerimanya hanya agar dianggap keren karena berpacaran dengan mahasiswa. Tidak seperti teman-temanku yang pacarnya masih dalam lingkungan sekolah, atau tetangga yang sudah saling kenal sejak kecil. Toh, aku tidak merasa rugi. Selama jalan dengannya, uang jajanku utuh. Dia selalu mengantar dan menjemputku sekolah, mentraktirku, terkadang juga mengisikan pulsa handphone-ku.

Gagal Move OnWhere stories live. Discover now