30. Bayang Masa Lalu

525 36 8
                                    

Sudah tiga bulan aku bekerja di sini, hal yang paling kukhawatirkan ternyata tidak terjadi. Satu bulan pertama aku selalu merasa agak cemas jika berada di kantor, khawatir tiba-tiba dia datang untuk menemui kakaknya. Aku tidak tahu harus menampilkan wajah seperti apa jika bertemu dengannya.

Sore ini sepulang bekerja, aku berkunjung ke rumah Ummi Ira—guru mengajiku—untuk dikenalkan dengan seseorang. Aku tidak meminta sebenarnya, masih agak canggung karena aku baru mengenalnya lima bulan terakhir. Mungkin Dina atau Putri yang meminta Ummi Ira mencarikanku calon suami.

Aku sampai di sana beberapa menit menjelang maghrib. Selesai shalat maghrib, Ummi Ira langsung mengajakku makan. Tanpa sadar, aku mengambil nasi dalam porsi besar. Aku selalu suka masakannya. Ummi Ira memiliki usaha katering yang lumayan tersohor di Depok. Ia selalu menyuruh makan siapapun yang bertandang ke rumahnya.

Saat kami sedang asyik makan sambil mengobrol ringan, Ustadz Imron—suami Ummi Ira—pulang dari masjid bersama seseorang. Aku cuek saja melanjutkan acara makanku, tidak sudi membiarkan siapapun yang datang bersama Ustadz Imron menggangguku menikmati ayam rica-rica yang super pedas ini.

"Silvy?"

Aku mendongak mendengar namaku disebut. Jantungku berdebar kencang mengenali wajah di hadapanku. Kami berpandangan untuk beberapa detik yang terasa lama. Ekspresi wajahnya sama denganku, terkejut, tidak menyangka kami akan bertemu lagi di sini.

"Kalian sudah saling mengenal?" Ummi Ira menatap kami bergantian, sama terkejutnya dengan kami.

Aku mengangguk kaku, lalu menunduk, memandangi piring makananku. Apa kataku saat pertama kali kembali lima tahun yang lalu? Waktu seakan terhenti di kota ini. Lihat saja. Aku baru tinggal tujuh bulan di sini, kami sudah bertemu. Aku gelisah memikirkan kemungkinan akan bertemu dengannya di kantor. Tapi kami malah bertemu di tempat yang tidak kuduga.

"Alhamdulillah. Berarti tidak perlu berlama-lama lagi. Ayo duduk, Lihin. Kita makan dulu." Ustadz Imron berseru senang.

Dia duduk di hadapanku. Sikapnya terlihat kaku, canggung.

"Kalian kenal di mana?" Ummi Ira bertanya sambil menyendokkan nasi untuk dia.

Aku kembali menyuapkan makanan ke mulut. Rasanya hambar, tidak seenak tadi. Perutku juga rasanya penuh, rasa lapar tadi hilang entah ke mana.

"Sekolah Silvy...," Dia berhenti sejenak, terdengar enggan saat menyebut namaku. "Sekolah Silvy dan kampus saya bersebelahan."

"Kalian kenal dekat?"

"Lumayan, saya kenal baik dengan keluarga Silvy." Lagi, aku mendengar keengganan dalam caranya menyebut namaku.

"Ah, urusan ini sepertinya akan semakin mudah."

Tidak. Ustadz Imron salah. Tidakkah ia mendengar dan memperhatikan caranya menyebut namaku? Meski sudah sembilan tahun lebih kami berpisah, aku masih bisa mengenali ekspresi keengganan itu. Dia tidak tertarik padaku. Mau secantik apapun aku, sepintar apapun, seshalihah apapun, dia tidak pernah tertarik padaku. Baik dulu maupun sekarang, aku tidak pernah terlihat menarik di matanya.

Handphone di saku rokku bergetar pelan. Ayah mengirim pesan, bertanya kapan aku akan pulang. Kukatakan padanya secepatnya, lima menit lagi aku akan pulang. Tidak perlu berlama-lama, dia sama sekali tidak tertarik. Aku berusaha menghabiskan makananku yang tinggal separuh porsi lagi. Menyesal kenapa tadi aku bernafsu sekali mengambil nasi dan potongan ayam dalam porsi besar. Aku mengeluh tertahan sambil tetap berusaha menghabiskan makanan yang tidak ada rasanya ini.

Setelah menghabiskan teh manis hangat yang juga tidak ada rasanya di lidahku, aku mencuci piring bekas makanku. Lalu berbisik pelan pada Ummi Ira, memohon undur diri lebih dulu. Kukatakan padanya bahwa Ayah sudah menanti kepulanganku.

Gagal Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang