34. Sudahi Saja

550 32 18
                                    

Satu minggu kemudian, Solihin datang. Aku sudah menduganya, firasatku sepertinya benar. Solihin Hampir tidak pernah datang di akhir pekan begini. Dia sering datang di hari biasa, menemani Ayah. Ayah bilang, satu minggu ini Solihin tidak pernah datang dengan alasan sibuk mempersiapkan launching buku terbarunya. Terakhir kali kami bertemu saat lamaran. Untuk urusan mempersiapkan pernikahan, Linda dan Lussy yang membantuku. Solihin hanya mengurusi undangan dan mahar.

Setelah menjawab salam, aku membuka pintu dan keluar. Solihin sudah duduk di bangku teras depan rumah. "Ayahmu ada?"

"Ada." Aku ikut duduk di bangku teras yang lain, tidak jauh darinya.

Solihin tampak terkejut melihatku ikut duduk bukannya memanggil Ayah.

"Kita perlu bicara." Aku belum memberitahu Ayah apa yang kulihat minggu lalu. Aku perlu memastikannya dulu.

"Tidak bisakah kamu memanggil Ayahmu dulu, Sil? Tidak baik berduaan begini." Apa katanya? Berduaan? Dia tidak ingat apa yang dilakukannya minggu lalu? Mereka juga berduaan. Meskipun di tempat umum, tidak ada bedanya dengan kami sekarang. Kami berada di teras, tempat terbuka yang memungkinkan siapapun bisa lewat.

Mendengar perkataannya membuatku geram. "Kak In, mungkin sebaiknya kita hentikan saja." Ini pertama kalinya aku memanggilnya dengan nama itu lagi.

"Apanya?" Solihin bertanya tanpa memandangku. Sikapnya terlihat canggung. Kakinya bergerak-gerak gelisah, entah karena apa. Apakah dia tahu apa yang hendak kukatakan? Atau dia merasa tidak nyaman berada di dekatku? Jika dia memang tidak nyaman bersamaku, untuk apa dia mengotot sekali ingin melamarku? Ah, benar juga. Kedatangannya ke sini mungkin untuk membatalkan pernikahan kami yang tinggal tiga minggu lagi.

"Minggu lalu aku melihat kalian bersama." Aku berusaha memperdengarkan nada bicara seperti biasa, berusaha untuk tetap terlihat tenang meski jantungku sudah mulai berdetak tidak karuan.

"'Kalian' siapa?" Solihin masih belum mau memandangku, entah apa sebabnya. Mungkin dia tidak mau dihantui wajah sedihku lagi. Atau dia merasa gugup karena akan melakukan kesalahan yang sama padaku untuk kedua kalinya

"Cewek pelukis itu. Siapa namanya? Aisah, Anisa, Alisa?"

Solihin tidak mengatakan apapun hingga tiga menit berikutnya yang terasa bagai tiga jam. Melihat sikap diamnya seperti ini membuat luka di hatiku kembali tersayat.

"Kak In tidak ingin menjelaskan sesuatu?"

"Apa yang ingin kamu ketahui?"

"Apa yang kalian bicarakan?"

Solihin menghela napas berat. "Dia hanya curhat. Suaminya jarang pulang sebulan ini."

Meski aku sudah menduganya, tapi aku tidak bisa menghentikan hatiku sendiri untuk merasa kecewa. "Bukankah tidak seharusnya seorang pria menjadi tempat curhat perempuan yang bukan mahramnya? Terlebih dia sudah bersuami."

"Aku tidak mungkin mengusir seorang wanita yang sedang menangis, kan?"

"Lebih tepatnya, Kak In tidak mau memberi batasan padanya."

"Sil," Solihin kali ini menoleh, menatap mataku langsung. "Bukankah kamu belum berhak untuk cemburu saat ini?"

"Belum berhak?" Hatiku kembali tersayat. "Aku calon istrimu. Apa jadinya jika kita telanjur menikah? Aku harus meredam cemburu melihat suamiku menemui perempuan lain hanya untuk mendengarkan curhatan mantan pacarnya?"

Solihin memalingkan muka, kembali menatap pagar rumah yang sudah mulai berkarat. Sebegitu tidak sudinya dia memandang wajahku. Padahal dia menatap cewek itu penuh cinta.

Gagal Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang