21. Awal yang Baru

520 26 4
                                    

Sudah satu minggu aku berada di Semarang. Aku ngekos tidak jauh dari kampusku, hanya butuh waktu lima belas menit berjalan kaki. Perkuliahan baru mulai tiga minggu lagi. Aku memang sengaja pergi satu bulan sebelumnya. Aku ingin segera meninggalkan masa lalu, move on.

Aku tahu. Mau sehancur apapun hatiku, dunia tidak akan peduli. Waktu akan tetap bergulir. Matahari akan tetap bersinar. Burung-burung tetap bernyanyi dengan riangnya. Aku tidak bisa terus bergelung dengan kesedihan. Aku harus bangkit. Aku masih muda, jalanku masih panjang. Meski hatiku hancur, aku tidak boleh membiarkan masa depanku ikut hancur.

Apa yang kulakukan?

Pada hari pertama, aku mencari kamar kos bersama Ayah. Ayah ikut menemaniku ke Semarang, memastikan anaknya tidak tinggal di lingkungan yang buruk. Kami baru menemukan kamar yang cocok menjelang petang. Padahal kami tiba di kota ini pukul tujuh pagi, langsung menuju kampus untuk menyelesaikan administrasi daftar ulang, membayar dan menyerahkan persyaratan mahasiswa baru.

Selepas maghrib, aku langsung membongkar barang-barangku, membereskannya. Tidak banyak, hanya satu koper besar pakaian dan satu kardus buku serta beberapa benda yang mungkin akan kubutuhkan. Kami menitipkannya di resepsionis kampus. Mereka baik sekali mau tetap menunggu hingga kami kembali meski sudah lewat waktu bekerja mereka.

Pada hari kedua, Ayah mengantarku ke pasar untuk membeli kerudung dan beberapa pakaian berlengan panjang. Ayah mengizinkanku kuliah di sini dengan beberapa syarat yang langsung kusetujui tanpa pikir panjang. Salah satunya, aku harus memakai kerudung jika hendak bepergian.

Aku tidak perlu membeli celana panjang lagi, aku memang hanya punya celana panjang. Ayah tidak pernah mengizinkanku memakai celana pendek meski hanya di dalam rumah. Ayah menawarkan beberapa potong rok, tapi aku menolak. Aku lebih suka pakai celana. Selepas Ashar, aku mengantar Ayah ke stasiun untuk pulang.

Ayah sempat bertanya apa yang akan kulakukan sampai kegiatan perkuliahan dimulai. Aku menjawab, "Belajar." Jadi, sejak hari ketiga hingga hari ini, aku selalu belajar. Aku menghabiskan hari-hariku dengan belajar di perpustakaan kampus. Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Aku harus menyibukkan pikiranku. Belajar adalah satu-satunya cara agar otakku benar-benar sibuk.

Aku tahu kenapa dia menunda-nunda memutuskan hubungan kami dan lebih memilih membohongiku. Dia mau aku tetap fokus belajar untuk ujian, agar pikiranku tidak terganggu dengan putusnya hubungan kami. Tapi dia salah, dia hanya berpikir dari sudut pandangnya saja.

Seandainya dia langsung memutuskan hubungan kami sebelum ujian, mungkin aku bisa melupakannya lebih cepat. Mungkin aku bisa meraih posisi juara umum nasional karena aku belajar terus-menerus sebagai bentuk pelarian untuk melupakannya.

Setelah dipikir-pikir, dia memang tidak pernah benar-benar mengerti diriku. Dia tidak pernah marah padaku meski terkadang aku mengabaikannya karena dia memang tidak peduli padaku, bukan karena dia sudah sangat mengerti diriku. Aku salah mengartikan sikapnya selama ini.

"Sedang mencari bahan untuk skripsi?"

Aku mendongak, melihat siapa yang mengajakku bicara. Seorang cowok yang tidak kukenal bertubuh tinggi langsung saja duduk di hadapanku. Melihat perawakannya, sepertinya ia tipe anak baik, murid teladan. Wajahnya terlalu cantik untuk ukuran cowok, seperti anggota boyband korea yang sering muncul di layar televisi. Satu hal yang kusukai darinya, tatapan matanya yang tajam. Mengingatkanku pada...

"Tidak." Aku terburu-buru menunduk, kembali memandangi buku yang sedang kupelajari. Aku berusaha fokus menyelesaikan soal kalkulus yang sedang kukerjakan.

"Kamu ikut semester pendek juga?"

"Tidak." Aku menjawab tanpa memandangnya, masih fokus mencorat-coret buku catatanku, sibuk menghitung. Aku tahu apa itu semester pendek. Dia pernah mengambil semester pendek untuk memperbaiki nilai-nilainya. Aku menghela napas panjang. Jelas bukan itu alasannya. Dia tidak ingin menghabiskan waktu liburannya yang berharga bersamaku.

Gagal Move OnOnde histórias criam vida. Descubra agora