31. Bayang Masa Lalu - 2

510 31 12
                                    


Hanif meletakkan kaleng minuman dingin di mejaku dengan suara keras.

Aku mendongak, menatapnya bingung. Ada apa? Aku melakukan kesalahan? Aku mengingat-ingat kembali semua perkerjaan yang sudah kulakukan seharian ini. Sepertinya tidak.

"Kamu tahu ini jam berapa?" Matanya menatapku tajam.

Aku mengerutkan kening, bingung. "Jam tiga?"

"Kamu belum makan sejak pagi." Hanif mendesis sebal.

Aku mengerjapkan mata. Hanif benar. Sejujurnya, kepalaku sudah terasa berat sejak tadi, tapi aku tidak menghiraukannya.

"Makan dulu, sana!" Hanif memukul kepalaku pelan dengan map yang dipegangnya. "Kamu ini umur berapa, sih, masih perlu diingatkan untuk makan? Nanti kalau kamu sakit pekerjaan terbengkalai." Ia menggerutu sambil beranjak naik ke ruangannya, meninggalkanku.

*****

"Tadi Solihin datang ke sini." Ayah berkata disela-sela mengunyah makanannya. Nada bicaranya seperti mengajak mengobrol biasa.

Aku diam saja, melanjutkan makan tanpa suara. Aku malas mendengar namanya kembali disebut-sebut. Kupikir dia memilih mundur karena sudah dua minggu tanpa ada kabar apapun dari Ummi Ira.

"Kamu tidak mau tahu apa yang membawanya ke sini?"

Aku menggeleng.

"Kenapa?"

"Slivy tidak mau berurusan dengannya lagi."

Setelah beberapa menit kami hanya menikmati hasil masakanku dalam diam, Ayah kembali bersuara. "Dia berbeda sekali, terlihat lebih dewasa dan matang. Kulitnya bersih, tidak dekil lagi, tubuhnya tegap dan berisi. Dia juga datang mengendarai mobil, bukan motor butut lagi. Dia masih sesopan dan semenyenangkan dulu. Awalnya dia tegang sekali, takut benar Ayah akan memukulnya." Ayah tertawa.

"Silvy tidak tertarik." Bukannya aku tidak menyadari perubahan fisiknya. Tapi mau dia berubah jadi setampan Brad Pitt sekalipun, aku tidak tertarik.

"Kenapa?"

"Dulu, saat Silvy masih muda dan cantik, dia mudah saja meninggalkan Silvy, tanpa keraguan sedikitpun. Apalagi sekarang, saat dia sudah terlihat lebih menarik dengan keadaan ekonomi yang lebih baik. Sementara Silvy sudah sekurus dan sejelek ini." Sembilan tahun yang lalu, bobotku turun hingga 12 kg.

Satu tahun pertama di Semarang, pola makanku kacau sekali. Aku kehilangan nafsu makan. Aku bahkan pernah tidak makan seharian. Aku baru makan ketika tubuhku sudah mulai terasa lemas. Saat masih di sini, Ayah dan Ibu rutin menyuruhku makan. Memaksa lebih tepatnya, karena aku selalu menolak. Beratku sekarang 45 kg. Hanya bertambah 2 kg meski aku makan sebanyak apapun.

Wajahku terlihat kusam sekali. Aku juga tidak pernah memakai apapun untuk wajahku, hanya sabun pencuci muka. Sejujurnya, aku tidak merasa diriku buruk rupa. Tapi aku sadar betul diriku sudah tidak secantik dulu, saat usiaku masih tujuh belas tahun. Usiaku sekarang sudah menginjak dua puluh delapan tahun.

"Kamu masih sangat cantik, Silvy. Seperti ibumu, semakin berumur terlihat semakin cantik."

Aku diam saja. Mana ada orang tua yang memandang jelek anaknya. Aku tidak pernah memusingkan penampilanku sebelumnya. Tapi dua kali ditinggalkan oleh dua orang pria yang berbeda demi wanita lain, membuatku kehilangan kepercayaan diri. Aku merasa tidak ada harganya di hadapan mereka. Sama sekali tidak layak untuk diperjuangkan.

"Solihin serius sekali mau melamarmu. Dia juga berjanji pada Ayah tidak akan meninggalkanmu lagi." Seharusnya aku sudah menduga akan begini hasilnya. Dia selalu mampu membuat semua orang menyukainya, entah bagaimana caranya. Makanya aku heran sekali mendengar ayah cewek itu menolaknya.

Gagal Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang