Bag. 1

15.1K 864 291
                                    

Pernikahan bagai dua kubu yang menyatu.
Menyatu masuk dalam putaran kehidupan
untuk bisa saling merasakan perasaan masing-masing.
Rentetan kejadian yang kami alami dalam pernikahan
semoga bisa menyatukan hati kami.
Saling terpaut dalam naungan suci cinta-Mu.
___________

Waktu berlalu begitu cepat. Beberapa minggu lalu, tak pernah terbayang oleh Aisyah  menerima pinangan seseorang. Menikah muda tidak pernah ada dalam daftar impiannya. Namun, semua itu nyata, dan sekarang dia akan menjalaninya.

Aisyah menatap pantulannya di cermin, lengkap dengan riasan di wajah dan balutan baju pengantin yang melekat. Dua perempuan tukang rias membantu, satu memoles wajah dengan make up, satu lagi menghias kerudung yang tersemat beberapa riasan di sana.

Ya Allah, apakah ini mimpi?

Semuanya bagai kepingan puzzle yang tersusun satu persatu: saat Abi tiba-tiba menyuruhnya untuk menerima perjodohan dengan anak rekan bisnis, pertemuan mereka seminggu kemudian, dan terakhir, tanggal pernikahan yang ditentukan sebulan setelah acara khitbah.

Dan pernikahan itu terjadi tepat hari ini.

***

Masih teringat jelas kejadian awal Abi untuk meminta Aisyah menerima perjodohan ini. Saat itu, ia sedang berdiri di teras belakang rumah sembari melihat kolam ikan, tanganya melempar pakan yang membuat ikan-ikan berkumpul dan air beriak. Kegiatan favoritnya selama menetap di rumah, setelah dua minggu lalu, dirinya dinyatakan lulus dari salah satu pondok pesantren di Bandung.

“Aisyah.” Suara Abi terdengar. Dia menoleh dan tersenyum tipis saat Abi datang ke arahnya.

Menutup wadah pakan ikan dalam genggaman, Aisyah merasa heran saat melihat Abi tersenyum berbeda.

“Iya, Bi?” Dia memilih ber-husnuuzon. Tiba-tiba saja Abi memeluk bahunya dan mengusapnya pelan dengan tangan kanan. Matanya melihat langit sore yang mulai tampak jingga, senyum simpulnya tak henti tergurat di sana. Senyum yang memiliki arti lain.

Aisyah mengikuti, mendongak menatap Abi, rasa perasannya masih muncul di sana apa lagi saat  melihat  sudut mata Abi yang mengeluarkan air mata.

Abi kembali menatapnya dalam, jemarinya sekarang mengusap puncak kepalanya.

“Aisyah, apa tau bahwa buah dari rasa sabar sangat manis rasanya?” Aisyah berpikir sejenak, lantas mengangguk.

“Sangat manis, Bi. Bahkan dalam Al-qur'an pun disebut bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar.”

“Sabar dalam menghadapi cobaan, sabar dalam penantian..., ” jeda Abi, matanya sekarang melirik ke arah dirinya. Tangan Abi masih terasa memeluk bahu Aisyah, terlihat jelas gurat wajah bahagia di sana. 

“Abi boleh tanya?”

Aisyah mengangguk, “Apa, Bi?”

“Apa Aisyah sedang menanti seseorang?”

Deg!

Bibir Aisyah kelu. Tidak pernah Abi bertanya demikian. Abi jarang sekali membicarakan hal sensitif seperti ini. Ranah yang cukup dewasa untuk Aisyah. Selama ini, Aisyah merasa Abi selalu mengangapnya sebagai anak kecil.

Seseorang? Tak pernah sekalipun Aisyah memikirkan seseorang yang istimewa. Aisyah belum berpikir ke arah sana.   

“Ti-dak, Abi,” ucapnya dengan menunduk.

Sejujurnya, Aisyah juga ingin merasakan mencintai dan dicintai layaknya pasangan. Di masa remaja ini, dia mencoba menahan diri dari ketertarikan pada yang bukan mahram. Namun, dia juga hanya perempuan biasa.

Setulus Kasih Aisyah [Terbit]Where stories live. Discover now