What Stays, What Not (2)

297 45 2
                                    

Minggu pagi, Yuna mendapat tugas belanja mingguan dari ibunya. Selain dekatnya jarak toko dan peluang menikmati udara luar setelah sekian lama, nilai plus lain belanja hari ini adalah uang lebih yang—mengutip kata sang ibu—'terserah mau kaupakai apa'. Jumlahnya kira-kira cukup untuk sebungkus es krim atau susu kotak stroberi.

Sebungkus? Aku bisa dapat dua kalau diskonnya kuhitung.

Untuk ketiga kali, Yuna melakukan kalkulasi awang yang mengacu pada daftar belanjaan, menerka berapa harga barang-barang tersebut dengan kortingnya sekali. Saking seriusnya, gadis itu tidak menyadari seseorang yang berjalan sama tak fokus dengan dirinya dari arah berlawanan. Ia memekik terkejut ketika orang ini tak sengaja menyenggol bahunya agak keras.

"Ma-Maafkan aku! Aku kurang hati-hati .... Maaf!"

Seorang gadis yang tampak sebaya Yuna, dengan mata bulat besar dan pipi penuh, berulang-ulang membungkukkan tubuh tanda menyesal. Yuna yang tidak terlalu memikirkan ikut menunduk-nunduk, mengatakan 'tidak apa-apa' pada dara yang wajahnya becek oleh jejak tangis itu. Rasanya wajar jika seseorang yang habis menangis menjadi kurang awas, jadi Yuna tidak terlalu ambil pusing, walaupun penyebab menangisnya gadis tadi masih ia pertanyakan hingga melewati pintu minimarket.

"Selamat datang."

Suara yang familier ini membuat Yuna berpaling ke meja kasir sesaat sebelum mengambil keranjang belanjanya. Ia disambut senyum pramuniaga yang lebih lebar dari standar, juga menular, pada wajah yang (janggalnya) kucel.

"O, Seokmin-a! Kamu juga ada shift Minggu pagi?"

Kawan Yuna yang pekerja keras tersebut memang tidak lagi menjadi pekerja paruh waktu di hari kerja, tetapi Sabtu-Minggunya sangat padat demi tugas di meja kasir minimarket, pembagi selebaran di taman kota, loper koran, dan pelayan coffee shop. Menurut jadwal yang Yuna ingat, Seokmin harusnya berkeliling mengantarkan koran di Minggu pagi alih-alih berjaga di balik mesin kasir toko ini.

"Aku menggantikan seseorang sementara, jadi shiftku memanjang lima jam. Sebentar lagi orangnya datang, kok."

Yuna manggut-manggut. "Kalau begitu, hwaiting! Aku akan jadi pembeli terakhirmu sebelum pulang."

Benar saja. Pegawai yang harusnya mengisi shift Minggu pagi datang setelah pembeli berikutnya masuk. Seokmin memberi kesempatan orang yang ia panggil 'Hyeong' itu berganti seragam, jadi ia masih kebagian tugas menghitung total belanja ketika Yuna selesai. Di tengah menunggu kembalian serta nota, gadis itu menangkap sosok kurus tinggi dengan snapback menutup wajah yang sedang berteduh di serambi minimarket.

"Dia seperti Minghao."

"Siapa—o." Seokmin tertawa kecil begitu tatapannya jatuh pada arah yang sama dengan Yuna. "Itu memang Minghao. Dia awalnya mencariku ke rumah, tetapi Chan bilang aku masih bekerja, jadi dia menjemputku."

"Hah? Tumben. Kalian ada rencana setelah ini?" Yuna menerima kantung belanjanya.

"Kau penasaran?" gurau Seokmin. "Cemburu, ya?"

"T-Tidak! Aku cuma tidak menyangka kalian masih bertemu di luar sekolah." Pipi Yuna merona. Buru-buru ia mengalihkan pembicaraan pada kemasan kecil dingin yang dikaitnya dari dasar kantung belanja. "Nih, susu stroberi. Eomma memberi uangnya kelebihan, aku pakai buat jajan saja."

"Cie, ada yang ditraktir pelanggan."

Seokmin yang baru akan menyampaikan terima kasih sontak menoleh pada pegawai yang lebih senior darinya itu.

"T-Tolong jangan laporkan aku, Jonghyun-hyeong! Aku ... aku ...."

"Iya, aku mengerti. Ditraktir pelanggan bukan dosa juga, kali. Sudah, pulang sana dan tidur. Mukamu kusut, tuh."

Rough ✅Where stories live. Discover now