Bagian 01

6.3K 545 98
                                    

Sebuah ponsel keluaran terbaru terhempas di ranjang king size milik seseorang yang kini berjalan menjauh. Terlihat ponsel itu masih menunjukan sebuah foto liburan yang di upload oleh seorang teman sekolahnya melalui SNS.

Hatinya sedikit nyeri melihat orang lain yang bisa memiliki teman untuk diajak berlibur bersama, sedangkan dirinya hanya bisa menghabiskan waktu liburan untuk bersantai di kamarnya yang selalu temaram itu.

Ia melangkahkan diri menuju kaca besar yang menunjukkan halaman samping rumahnya, tepat menghadap ke arah kolam renang. Bulan sedang bersinar di atas sana, dan air di kolam membantu memantulkan bayangannya.

Hal kecil seperti itu nyatanya membantu kedua sudut bibir terangkat. Setidaknya hal tersebut membuat hati pemuda itu sedikit lebih tenang.

Tok... tok... tok...

Sepertinya ketenangan tersebut harus terenggut oleh suara ketukan pintu yang kemudian terbuka perlahan, menampilkan seorang pria di usia 50 tahunan-nya.

"Tuan muda.."

Wajah itu nampak prihatin melihat anak majikannya itu. Sedangkan yang ditatap, kini hanya bisa menghembuskan napas pasrah, seakan mengetahui apa yang akan disampaikan oleh pelayan pribadinya tersebut.

"Aku akan keluar sebentar lagi, Paman."

Tak lama setelah pintu ditutup, tangan yang sejak tadi tanpa sadar terkepal itu hanya memproduksi keringat dingin berlebihan, tanda kepanikan mulai menyelimuti dirinya. Pemuda bernama Park Jimin tersebut mencoba menetralkan napas yang kini mulai terdengar memburu.

Setelah beberapa saat, akhirnya ia pun melangkah dengan pasti untuk membuka pintu kamar. Ia yakin orang yang menunggunya kini tidak akan suka jika dirinya mengulur waktu terlalu lama.

Saat akhirnya mereka berdua sampai di hadapan pintu bercat cokelat, Jimin melirik sekilas pada sang pelayan pribadi yang masih menunjukan ekspresi yang sama sebelum akhirnya membuka pintu bercat coklat gelap yang berdiri kokoh di hadapannya.

"Ayah... memanggilku?" tanya pemuda tersebut berusaha setenang mungkin agar suaranya tak terdengar bergetar.

Pria yang tengah berkutat dengan sebuah buku di balik meja kerjanya itu akhirnya mengalihkan pandangan pada sang anak yang sudah tidak dijumpai selama beberapa minggu. Ia pun melepas kacamata baca sebelum menatap anaknya dengan intens.

"Bagaimana sekolahmu?" tanyanya, terdengar basa-basi.

"B-baik, ayah. Bagaimana perjalanan bisnis ayah?" pertanyaan lain yang sungguh terdengar sangat klasik tetapi itulah etika, bukan?

"Perusahaan kita di Macau sedang berjalan dengan baik. Kau harus mulai belajar mengurusnya!" ucap pria tersebut dengan tegas.

"Baik, ayah." Jimin menjawab lirih dengan kepala tertunduk.

Sang ayah berdiri dan berjalan ke hadapan sang anak yang masih menunduk dengan kedua tangan di hadapan tubuhnya kaku sekali,

"Ayah ingin kau pindah sekolah." Satu kalimat yang membuat kepala sang anak terangkat seketika. Wajahnya terlihat terkejut, tetapi tidak dengan sang ayah.

"Kenapa?" ujarnya heran.

"Karena ayah yang menyuruhmu."

"Tapi, ayah... ini akan menjadi kepindahanku yang ketiga kalinya." Jimin memainkan jari, ingin menolak namun keberanian tak kunjung datang.

"Kau membantahku?" raut wajah sang ayah semakin tegas, membuat Jimin kembali menunduk.

"Bukan begitu, ayah. Hanya saja, nilaiku tak pernah turun sama sekali dan aku selalu menjadi Nomor satu. Selain itu juga, pasti akan sulit mendapatkan teman jika terus-terusan seperti ini."

The Untold Truth (ON HOLD)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin