Bagian 03

2.9K 389 23
                                    

Pemandangan di luar jendela mobil tampaknya menjadi begitu menarik bagi Jimin hingga getaran dari ponsel ia abaikan sedari tadi. ID caller dengan nama Taehyung tiada henti menelepon setelah ia menaiki mobil jemputannya. Pasti pemuda itu khawatir sekali karena tidak mendapati keberadaan Jimin lagi.

Padahal Jimin sudah mengirim pesan jika ia pulang terlebih dahulu, namun temannya itu belum menyerah juga. Helaan napas terdengar saat akhirnya ponsel itu dimatikan.

"Kenapa tidak diangkat saja, tuan muda?" sang pelayan yang fokus mengemudi akhirnya bertanya.

"Tidak apa paman. Besok saja aku minta maaf di sekolah, sekarang tidak mau diganggu dulu." Jimin menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari jendela mobil.

Beberapa menit setelah perbincangan singkat tersebut, mereka sampai di kediaman Park yang begitu megah. Jimin turun perlahan dari mobil dan berjalan menuju pintu utama yang sudah dibuka oleh beberapa pelayan di rumahnya.

Seperti biasa, bangunan megah tersebut begitu sepi setelah sapaan 'selamat datang' yang diucapkan serentak oleh beberapa pelayan berhenti berdengung. Jimin tersenyum tipis pada mereka sebelum meniti langkah menuju kamar.

"Bagaimana dengan makan malam, tuan?" paman Shin menghentikan langkah Jimin, karena dia tahu jika sang tuan muda sudah sampai di kamar, akan sulit dibujuk keluar walau itu untuk makan sekalipun.

"Tidak paman, aku lelah, ingin istirahat saja." Jimin mempercepat langkah, takut akan dibujuk oleh pelayan yang sudah setia melayani sejak ia kecil tersebut. Baginya, paman Shin lebih cocok disebut sebagai ayah daripada ayahnya sendiri.

Saat menutup pintu kamar, wajah Jimin berubah menjadi datar. Selalu begini ketika ia merasakan suatu tekanan dalam hatinya. Entah mengapa kehidupan di sekolah yang sekarang begitu berbeda dari yang dulu-dulu. Jimin tentu saja senang mendapat teman kali ini, namun rasa takut pun ikut menghantui.

Pertemuan dengan sosok bernama Min Yoongi beberapa saat lalu masih berputar di dalam benak Jimin. Entah mengapa ia merasa familier dengan nama tersebut. Ketika mencoba mengingat, hanya pening di kepala yang terasa. Apakah ia mengalami hilang ingatan? Tapi rasanya tidak mungkin.

Jimin merebahkan tubuh di ranjang king sizenya, berniat untuk tidur tanpa melepaskan seragamnya terlebih dahulu. Ia butuh mendiamkan rasa aneh di hati dan juga pusing di kepala. Namun setelah berkali-kali mencoba, kantuk tak kunjung datang. Maka Jimin menyerah dan kembali keluar dari kamar.

Awalnya ia berniat untuk pergi ke taman belakang rumah, namun langkahnya terhenti ketika melewati pintu sebuah ruangan dengan papan nama di atasnya 'Park Jae Na'. Jimin memutuskan untuk masuk ke ruangan tersebut.

Beragam foto wanita cantik yang tertempel hampir di setiap bagian dinding tampak di penglihatan Jimin setelah membuka pintu. Berbagai macam barang lainnya tertata begitu rapi, hampir kebanyakan berwarna merah, karena itulah warna yang di sukai ibunya. Benar, Park Jae Na adalah ibu Jimin yang meninggal ketika pemuda itu baru berumur 7 tahun.

Jimin sendiri tidak mengetahui penyebab kematian ibunya, yang ia ingat adalah saat terbangun kala itu sudah mendapati para pelayan mengenakan pakaian serba hitam dan paman Shin datang dengan wajah sedih memberitahu jika sang ibu pergi untuk selamanya.

Tidak ada kata yang terucap dari bibir Jimin hari itu, ia menangis dalam diam, dadanya sesak luar biasa karena kehilangan satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Selama ini yang memberi ia kasih sayang dan perhatian hanya sang ibu, ketika ayah marah pun ibulah yang membela.

Jimin tersenyum miris mengingat masa-masa kecilnya bersama Jae Na. Perlahan ia mengambil sebuah syal berwarna merah, syal favorit sang ibu yang merupakan hadiah dari Jimin saat berulang tahun. Paman Shin yang membantunya membeli syal tersebut.

The Untold Truth (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang