02

1.7K 193 4
                                    

Koeun berjalan malas dari gerbang kampus menuju gedung fakultasnya yang pagi ini entah mengapa terasa lebih jauh dari biasanya.

Tadi dia berhasil menumpang pada motor Donghyuk, adik bungsunya yang kebetulan sekolahnya dekat dengan kampusnya ini. Tapi dia selalu menolak untuk mengantarkan sampai ke gedung fakultas dengan alasan, "Gak mau! Kak Koeun tau gak itu tuh kalo Hyuk masuk gerbang, Hyuk harus bayar dua ribu! Mending kalo kakak bayarin, ini kan enggak. Jadi Hyuk anterinnya cuma sampe depan gerbang."

Koeun mendesah panjang, adiknya itu memang benar-benar, dua ribu rupiah aja jadi alasan. Padahal intinya sih hanya satu, Donghyuk malas mengantar ke dalam karena kalau habis mengantar ke tepat depan gedung Fakultas Ekonomi, gedung fakultasnya Koeun, dia harus jalan memutar kampus untuk bisa keluar gerbang lagi. Karena kampus Koeun ini sedang menggalakkan system one way.

Jadi ya sudah, Koeun juga tidak mau terlalu merepotkan adik kecilnya itu, dia yang harus tahu diri untuk tidak meminta berlebihan.

Ia berjalan sambil beberapa kali meregangkan tubuhnya yang terasa masih begitu pegal sana-sini.

Dering ponsel dari dalam tasnya menghentikan gerakan konyolnya di pinggir jalan kampus itu, ia merogoh tas sampingnya untuk melihat siapa penelepon pagi-pagi itu.

Jungwoo.

Ketua himpronya, organisasi yang sudah diikuti oleh Koeun semenjak masuk semester tiga, yang artinya sudah lebih dari enam bulan lalu.

"Halo pak ketu, ada apa nelfon sepagi ini?"

"Apa?"

"Hari ini? Hmm gak ada jadwal ngajar sih."

"Mm. Ya udah, nanti gue ke sekre."

Begitu sambungan telepon itu diputus, Koeun menghela napas panjang, ekstra sangat panjang.

Padahal niatnya begitu selesai jam kuliah, dia ingin langsung pulang dan melepas rindu lagi dengan kasur tercinta. Mumpung hari ini tidak ada jadwal mengajar.

Tapi tiba-tiba ketua himpronya yang terhormat justru menyuruh dia untuk mengurus jalannya persiapan proker, menggantikannya yang tiba-tiba harus ke universitas sebelah untuk membahas kerjasama proker lain.

Ia menghentakkan kakinya kesal, kenapa harus dia yang menggantikannya? Bukankah banyak anggota lain yang lebih menganggur daripada dirinya??

.

.

Karena terlalu sibuk dengan perasaan kesalnya yang ternyata membuatnya berdiri diam di pinggir jalan selama hampir sepuluh menit, Koeun akhirnya sadar kalau jam masuk kelas pertamanya sudah hampir dimulai.

Ia melihat panik ke jam tangan di tangan kirinya. Astaga, sudah jam delapan kurang lima menit. Dosen di mata kuliah ini sangatlah killer dan tidak mengenal toleransi jam keterlambatan. Peraturan tertulis tentang toleransi terlambat lima belas menit dianggap tidak ada oleh dosen satu ini.

Terpaksa Koeun berlari sekuat tenaga menuju gedung fakultasnya. Ia berlarian dengan kecepatan tinggi yang membuatnya beberapa kali menabrak beberapa mahasiswa yang sedang berjalan santai. Tidak sedikit juga dari mereka yang mengumpat Koeun karena benturan yang diciptakan oleh gadis itu cukup keras juga.

Koeun hanya bisa mengekeh pelan dan memasang wajah minta maaf pada setiap pengumpat yang ia temukan.

Beruntung, atas kekuatan 'the power of kepepet', Koeun sampai ke dalam kelasnya tepat jam delapan. Dosen killer itu sedang mempersiapkan laptop yang akan ia gunakan untuk mengajar.

Koeun menatap dosen killer itu dengan napas yang masih naik turun dengan cepat, "Bu Sandra, saya belum telat, kan?"

Bu Sandra dengan kacamata tebal dan bibir tipisnya itu pun melihat sebentar pada jam tangannya lalu menggeleng kecil, "Tepat pukul delapan. Kamu masih boleh masuk."

Touch - MarkoeunOnde histórias criam vida. Descubra agora