DUA-Sisi Gelap Yang Menyedihkan

4.6K 298 40
                                    

     "Kita harus beritahu keluarganya sebelum melakukan tindakan!" ucap seorang perawat yang memegangi Betty.

     "Aku tidak peduli. Kita harus menyelamatkan nyawa para pekerja di sini." Dokter itu mengambil sebuah suntikan yang biasa digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

     "Kau yakin, Dok?" Perawat itu memicingkan kedua mata ketika melihat pria di sampingnya menambahkan obat rabies.

     "Jangan lalukan itu, Dok!" teriak perawat yang datang membawa sekantung cairan merah.

      Perawat itu berlari melepas semua selang yang masuk ke dalam pembuluh darah Betty. "Kau tidak bisa melalukan ini padanya!" Ia menggendong Betty lalu berlari menuruni beberapa anak tangga.

     "Kau mau bawa dia ke mana!?" Dokter itu melempar teteskopnya dan berlari mengejar perawat yang membawa Betty.

     Kakinya berderap di lorong gelap, lalu membuka pintu darurat. Ia Menurunkan Betty di samping risbang yang sudah tidak terpakai. Kedua matanya menajam memerhatikan keadaan sekitar.

     Setelah dirasa cukup aman, ia kembali menggendong Betty. Terasa berat, namun ia harus menyelamatkan Betty dari dokter yang serakah. Perlahan kakinya terus melangkah menuruni satu persatu anak tangga, hingga akhirnya sampai di depan pintu keluar.

     Tanggannya yang memerah karena menahan beban, bergerak membuka pintu. Bola matanya menyorot keadaan di luar-aman. Dengan terburu-buru ia mengeluarkan ponsel dan menekan beberapa nomor. Papan keyword ia ketuk dengan cepat hingga akhirnya raut wajah bahagia muncul.

     "Perawat sialan! Ke mana kau akan membawa dia!?" Suara itu membuatnya panik. Ia dekap Betty, ponselnya dipegang sangat kuat—sedikit meremas.

     "Hm!" Betapa terkejutnya ia ketika seorang pria muda berdiri menghalangi jalan keluar.

     "Laki-laki sialan! Kenapa lama sekali?" Perawat itu mencubit lengan pria di handapannya.

     Pria itu tertawa. "Maafkan aku, Rindi."

     Perawat itu memutar bola matanya, "bawa dia pergi dari sini!"

     "Aku tidak terbiasa berkenalan dengan orang asing, hasratku masih labil."

     "Cepat... bawa dia pergi dari sini!" Perawat itu pergi dengan terburu-buru.

     Pria itu diam sejenak. Kedua matanya mengedip-ngedip menatap Betty yang masih tidur. "Cantik," gumamnya dalam hati.

     "Bisa berjalan?" tanyanya pada Betty, kemudian ia tertawa senang. "Maaf, aku kira kau tidak pingsan."

     Pria itu melepas jaketnya untuk dipakaikan pada Betty. Ia menggendongnya, lalu berlari tanpa ragu di depan semua orang.

     "Cepatlah sadar agar aku bisa menyayat lehermu," ucapnya mengiringi derap langkah kaki yang menggema.

     Sebuah jalanan kota memperlambat gerakkan kakinya. Ia diam di depan halte bus. Orang-orang menatapnya bingung tapi ia tidak peduli.

     "Kapan busnya akan datang?" tanyanya pada seorang pria yang sibuk memainkan ponsel.

     "Satu jam lagi," jawabnya sedikit ketus.

     Pria itu diam sejenak. Ia pikir, satu jam terlalu lama. Bisa-bisa kakinya pegal karena menunggu. Akhirnya ia putuskan saja untuk berjalan kaki meskipun harus menggendong Betty.

     Jalanan kota saat itu tidak terlalu ramai. Pejalan kaki yang biasa memadati trotoar belum nampak pukul segini.

     "Kau tahu? Aku hidup sendiri. Tidak ada teman untuk bercerita. Sialnya, kau malah pingsan," celotehnya.

     Betty mulai tersadar. Kedua matanya masih terasa berat untuk dibuka. Rasa sakit di kepala pun seakan tidak pernah hilang. Tetapi, saat ini rasanya sudah agak cukup untuk kembali sadar.

     "Kau berat, tapi ini perintah Nona. Kalau tidak dituruti, dia akan marah." Pria itu mengubah arah. Ia berjalan di antara himpitan tembok yang sempit. "Oh iya, aku belum berkenalan denganmu, kan? Perkenalkan, namaku Aripin. Kau bisa memanggilku Ipin, jika kau mau."

     Betty tersenyum kikuk—merasa tergelitik dengan nama yang baru saja didengarnya. Ia menggerakkan tangan kirinya menyentuh dada pria bernama Aripin itu. Aripin yang terkejut langsung diam mematung.

     "Turunkan aku!" ucap Betty, suaranya sangat lemah sekali.

     Betty berdiri dengan sedikit sempoyongan. Dengan sigap Aripin membantunya berjalan tapi Betty malah diam—kembali memegangi kepalanya yang sakit.

     "Aku mau pulang," ucap Betty sambil melepaskan jaket yang diberikan Aripin.

     Aripin memegang kedua tangan Betty, "Tidak, pakai saja."

     Keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Aripin menuntun Betty untuk tetap berjalan tegak. Perlahan hujan mulai turun, keduanya menepi sambil menunggu taksi. Tak lama kemudian, sebuah kubus kuning berhenti di depan mereka. Aripin segera membopong Betty untuk masuk ke dalamnya.

     "Arah selatan, berhenti di depan toko slawayan!" ucap Aripin tegas. Taksi mulai berjalan menembus derasnya air hujan.

     Aripin mengeluarkan ponselnya, sekedar mengecek apakah ada pesan dari Rindi atau tidak. Ternyata, tidak ada.

     Perasaan Betty sedikit gundah. Jalanan kota Welis yang basah terkena air hujan membuatnya takut tidak dapat bertemu dengan adiknya lagi.

     "Di mana kau Netty?" batinnya.

     Taksi berhenti, membuat decitan keras di aspal. Bekasnya tersamarkan oleh rintik air hujan.

     "Turun di sini saja." Aripin menatap Betty penuh penegasan, tetapi ia tidak dapat menatapnya terlalu lama. Hal itu malah membuat jantungnya berdebar tak karuan.

     "Aku tinggal di apartemen, masih jauh dari sini," katanya, masih sibuk memijat kepala yang sakit.

     "Aripin mengangguk. "Terus jalan, Pak!" Ia menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Betty.

     "Sepertinya, aku pernah melihatmu."

     Betty terkejut. Ia menatap lekat-lekat Aripin. "Benarkah? Di mana kau bertemu denganku?"

     Aripin tersenyum menyeringai. "Di neraka."

     Betty menaikkan sebelah alisnya. "Neraka?"

     "Lupakan. Aku hanya bercanda," pekik pria itu sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

•••

THE PSYCHOPATHWhere stories live. Discover now