Part 2 : Harus Pulang

6.8K 229 1
                                    

Sekitar lima kilometer dari rumah kontrakan sederhana yang ditempati Alisa, Taufik duduk di meja kerjanya sambil memperhatikan pergelangan tangannya.

"Sudah jam berapa ini?" tanyanya pada diri sendiri, sambil memperhatikan jam di tangannya sudah menunjukan pukul 17.30. Hujan masih belum berhenti juga. Sejujurnya ia ingin segera pulang, ingin menyelesaikan perselisihan dengan istrinya yang belum selesai, gara-gara sebuah masalah, ah lebih tepatnya beberapa masalah. Baru saja ia membuka hp-nya, ingin mengirim pesan pada istrinya. Ia mengetik...

[Assalamu'alaikum Alisa, maafkan Mas pulang terlambat, kamu jangan khawatir, Mas baik-baik saja, hanya sedang menunggu hujan reda.]

Sejurus kemudian jarinya akan menekan tombol send, tiba-tiba saja terhalang panggilan masuk dari sesorang yang selalu membuat dahi Taufik mengernyit.

BU METTA CALLING....

Tampak foto perempuan cantik di layar hp-nya, mengenakan kacamata, berkulit putih, rambut hitam, leher jenjang, yang tentu siapapun akan sepakat mengatakan ia adalah wanita yang sangat menarik.
Tapi tidak dengan Taufik. Beberapa minggu belakangan ini, Metta seperti terror di hidupnya. Ia ingin kemana saja pergi sejauh-jauhnya asal tak ada Metta disana, tapi sayangnya tak ada tempat untukmu berlari, Taufik. Karna Metta satu kantor denganmu, dan parahnya lagi dia atasanmu.

"Astaghfirullahal'azim, mau ngapain lagi ni Bu Metta, pake acara nelpon segala." Gerutu Taufik sendirian. Dia malas mengangkatnya. Akhirnya dia matikan hp-nya. Ya, dimatikan saja, agar dia tenang. Dia lupa mau mengabari istrinya tadi, dia juga lupa bahwa istrinya amat sangat mengkhawatirkannya.

Taufik menatap jam tangannya. Semakin sore. Belum ada tanda hujan akan berhenti. Dia menundukkan wajahnya, tangan ia lipat di atas meja. Dia termenung.
Samar dari kejauhan, ia melihat seorang wanita setengah lari menghampirinya. Ah, betul, ia tak salah lihat, itu Metta. Wanita itu semakin mendekat.

"Hai Mas Taufik, kamu kenapa susah sekali dihubungi, ditelepon ga pernah diangkat, di chat ga pernah dibalas, jangankan dibalas, dibacapun tidak, kasian banget jadi aku. Hehee.. Kamu ini kenapa? Masih marah gara-gara omonganku kemarin?" tiba-tiba saja Metta berdiri persis di depan meja Taufik, sambil menatap wajah Taufik lekat. Diperhatikannya setiap anggota wajah pria itu, hidungnya mancung, matanya coklat berbinar, bibirnya tipis, alisnya lebat dengan alis kanan dan kirinya terpaut seolah tak mau diberi jarak, 'ah sempurna!' pikir Metta.

Taufik merasa tidak nyaman, tapi ia tidak berani berkata kasar pada atasannya tersebut. Biar bagaimanapun Metta harus dihormati. Taufik berdiri dari tempat duduknya, tanpa berkata sepatah katapun.

Metta menengadah, tentulah semakin terpesona dengan tubuh Taufik yang 15 cm lebih tinggi darinya, bahu yang kekar, dada yang bidang, janggut yang tipis, semakin membuat Metta menelan ludah. Pahit. Pahit karena Taufik mengabaikannya.

Lalu, tanpa sadar, Metta menarik tangan Taufik agar tidak segera berlalu darinya.

Taufik kaget. "Maaf, Bu Metta. Saya harus pamit pulang. Hujannya sudah kecil." Taufik melepas tangan Metta hati-hati, sambil hendak berjalan meninggalkan Metta.

"Tunggu dulu! berapa kali sih harus dibilangin, jangan panggil aku Bu. Panggil Metta saja kan lebih enak. Kita seumuran kan? Lah malah secara bulan lahir, lebih dulu kamu loh Februari, aku Mei. Jadi aku yang harus panggil kamu Mas Taufik kan?" Metta lebih terlihat seperti menggoda, daripada bertanya.

Taufik mengangguk malas.

"Oh iya Mas Taufik, aku hanya ingin memastikan perihal tawaranku kemarin, Bagaimana sudah ada jawaban?"

"Hmm ... itu ... maaf belum bisa saya jawab, Bu, eh, Metta."

"Katanya hanya minta waktu sehari lagi?" Metta menuntut.

KEPINGAN HATI ALISA (Sudah terbit)Where stories live. Discover now