Part 5 : Mengikhlaskanmu

4.9K 213 0
                                    

Alisa memandangi langit-langit dan dinding ruangan itu. Punggung dokter perlahan menghilang dari pandangannya. Alisa sedikit menggigil. Mungkin AC ruangan itu terlalu dingin, atau hatinya yang sekarang lebih dingin. Perasaannya campur aduk. Dia mau cerai. Sudah fix mau cerai. Surat gugatan sudah ia siapkan. Tapi kenapa ia harus hamil di saat seperti ini. Ia mulai ingat kejadian sebulan lalu, saat ia terakhir berhubungan suami istri dengan Taufik. Kenapa dia sampai lupa bahwa itu masa suburnya.

Ya Allah, apakah ini jalan dari-Mu agar aku tidak jadi berpisah dengan suamiku?

Apa ini juga jawaban dari do'a suamiku yang sangat menginginkan anak laki-laki, mungkinkah anak yang di dalam kandunganku ini adalah laki-laki seperti harapannya?

Kepala Alisa terasa seperti berputar. Mungkin ia terlalu banyak menerka-nerka. Ya, memang betul alasan Taufik selama ini kurang begitu dekat dan memperhatikan Fina, anaknya. Karena dari awal, Taufik sangat menginginkan anak laki-laki. Taufik pun tidak pernah tahu alasan kuatnya kenapa ia begitu mendambakan anak laki-laki hadir dalam kehidupannya.

Namun, Alisa masih perlu waktu untuk bisa berfikir jernih. Ia meminta dokter tidak memberi tahu keluarganya dulu terkait kehamilannya. Ia tidak ingin kehamilan ini menjadi penyebab utama penghalang perceraiannya. Ia tidak ingin Taufik hanya iba melihatnya dalam kondisi hamil. Sejujurnya dalam hati kecilnya, Alisa sangat ingin diperjuangkan. Alisa sangat ingin Taufik menolak kembali perceraian ini, lalu berjanji padanya akan berubah, berusaha lebih keras lagi dan mulai lebih memperhatikan ia dan Fina. Sejujurnya, ia masih mencintai suaminya. Kemarin sepulang menemui Metta, tidak ada yang tahu kalau Alisa menangis sepanjang perjalanan. Hatinya hancur. Merasa dirinya kalah sebelum berperang. Metta punya segalanya. Satu senti saja Taufik jatuh hati padanya, ia akan selamanya terperangkap. Mana ada laki-laki normal yang menolak segala kelebihan yang ditawarkan Metta.

***

"Syukurlah, Nak. Kamu sudah sadar." Ibu, Fina, dan Alan berhambur masuk ke ruangan.

"Alhamdulillah, Bu."
Alisa menjawab pelan. Lalu lidahnya terasa kelu, ia tidak bisa berkata apapun.

Ia memastikan penglihatannya tidak salah, atau sekedar halusinasi.

Suaminya berjalan mendekatinya, di belakangnya ada seorang wanita cantik yang ditemuinya kemarin sore, tapi wanita itu dua kali lebih cantik hari ini, ia memakai kerudung dan makeup-nya tidak setebal kemarin.

"Mas ...." Alisa berkata lirih.

Taufik tidak berkata apapun. Ia menggenggam tangan istrinya dengan erat.

"Maaf Alisa, tadi aku yang minta ikut, aku pun ingin memastikan keadaanmu. Syukurlah kamu baik-baik saja." Metta menjelaskan, khawatir Alisa salah faham.

Semua yang ada di ruangan itu jadi canggung. Ibu pamit membawa Fina ke luar ruangan, dan Alan mengikutinya.

Alisa menghela nafas. Tangannya masih digenggam Taufik dengan sangat erat.

Taufik seperti kehabisan kata-kata.

Ia hanya menatap wajah istrinya yang kusut. Terlihat genangan di sudut mata Alisa.

Alisa menguatkan untuk bicara.
"Alhamdulillah, Metta. Kamu betul-betul serius pada suamiku. Kamu telah menerima syaratku." Kali ini genangan di sudut matanya itu mendesak untuk turun. Pipi Alisa basah.

"Emmmmm ini ... tidak Alisa ... ini hidayah." Metta memeluk Alisa. Wangi tubuh Metta tercium jelas oleh Alisa. Ah, jauh sudah Alisa merasa kalah dalam segi apapun.

"Mas, aku sudah siapkan surat gugatan cerainya. Semoga semua berjalan lancar ya. Aku berharap kamu akan jauh lebih bahagia nantinya."

Taufik menghela nafas berat. Ia kini betul-betul kehabisan kata-kata.

***

KEPINGAN HATI ALISA (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang