Part 7 : Sebutir Wasiat

4.6K 176 2
                                    

"Kau dengar aku 'kan?" Alisa menatap wajah suaminya, tajam. Kali ini dia serius, sangat serius.

Taufik mengangguk.
"Iya aku dengar semua alasanmu, dan aku tahu. Tapi aku hanya ingin membatalkan perceraian kita, aku sudah tahu tentang kehamilanmu. Dokter Irfan kemarin memberitahuku. Selama lebih dari satu bulan dia merasa bersalah karena telah menyembunyikan fakta itu dariku."

"Kamu ketemu dokter Irfan dimana?" Alisa kebingungan. Dia tidak menyangka Taufik akan tahu tentang kehamilan ini.

"Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting sekarang, kita jangan egois, fikirkan anak yang ada di kandunganmu, anak kita, Alisa!" Taufik meninggikan suaranya.

"Egois? Siapa yang egois? Perempuan yang tidak pernah bahagia seperti aku, kamu bilang egois?" Alisa mulai memproduksi kristal bening yg menggenang di matanya.

"Kenapa kamu selalu bilang bahwa kamu tidak bahagia?" Taufik menatap wajah Alisa, sesekali ia melempar pandangannya ke arah jalanan, kosong.

"Wanita mana yang bisa bahagia, dengan pernikahan yang seperti ini. Kehidupan ekonomi yang sulit, perhatian dari suami yg kurang. Lalu, sekarang dengan mudah laki-laki itu mengumbar cintanya kepada wanita lain, bahkan akan segera menikahinya, saat proses perceraian dengan istrinya belum selesai?" Wajah Alisa memerah karena menahan amarah yang tertahan selama ini.

"Kenapa jadi menyalahkan aku? bukannya itu mau kamu. Kamu kan yang menyuruh aku segera melamar Metta. Aku hanya menuruti keinginanmu. Sekarang jadi aku yang salah. Terus aku harus bagaimana?" Taufik memejamkan matanya. Kedua tangannya memegang kepalanya yang terasa berputar. Ia sudah melamar Metta 3 hari yang lalu, itupun atas desakan Alisa. Dia tidak mungkin membatalkan lamarannya. Tapi ia juga ingin tetap bersama Alisa, karena kondisinya yg sedang hamil. Ah, Taufik sangat bingung.

"Ya sudah, kamu tidak usah gimana-gimana, Mas. Kita teruskan saja proses perceraian ini" Alisa menjawab datar.

"Lalu, kehamilanmu? aku tidak mau bercerai denganmu, dalam kondisi kamu sedang hamil begini. Mana aku tega?"

"Tega-kan saja, Mas. Bukannya kamu selalu tega padaku?" Kali ini ucapan Alisa terasa pedas. Entah kenapa kesabaran Alisa banyak terkikis oleh keadaan.

Taufik tersentak dengan ucapan Alisa. Dia mematung. Alisa berlalu, pergi dari hadapannya.

***

Pukul lima sore saat Alisa sampai di rumah. Hari ini jalanan macet membuatnya sedikit kelelahan. Ibu menyambutnya dengan hangat. Fina tertidur di sofa ruang tamu, setelah lelah bermain.

Akhirnya Alisa memberitahu Ibu terkait kehamilannya. Reaksi Ibu tidak terlalu kaget, karena sebetulnya Ibu sudah menduga.

Ibu kembali meminta Alisa membatalkan perceraian. Ibu menganggap tabu sekali jika wanita hamil malah bercerai.

"Kan tidak ada larangannya dalam agama, Bu. Perceraian tetap bisa dilakukan, walaupun istri sedang mengandung. Betul 'kan, Bu?" Alisa menggenggam tangan Ibu.

"Iya, Nak. Tapi tahukah betapa sedihnya Ibu, jika nanti kau melahirkan, sementara suamimu tidak ada di sisimu?" Tiba-tiba Ibu menangis, Alisa tidak tahan melihatnya, Ia menghambur dalam pelukan Ibu.

"Insya Allah tidak apa-apa, Bu. Alisa kuat tanpa Mas Taufik." Alisa mengeratkan pelukannya.

Ibu tidak menjawab apa-apa lagi. Ia mengusap kepala Alisa, dengan penuh kasih sayang.

***

"Bagaimana keadaan Ibu saya, dokter?"

Alisa bertanya kepada dokter, sambil memandangi wajah ibunya yang pucat pasi dan tertidur.

"Kondisinya sangat lemah, penyakit maag-nya sudah semakin parah. Nanti kalau Ibu bangun, tolong dibantu untuk minum obat mualnya, agar ada makanan yang bisa masuk. Saya pamit dulu. Selamat malam."

Dokter berlalu dari ruangan.

Alisa memandangi wajah ibunya dengan lekat. Urat-urat wajahnya menampakkan kelelahan yang tiada tara. Sudah dua hari Ibu kembali masuk rumah sakit. Alisa merasa sangat sedih, seandainya bisa ditukar, ia rela menanggung penderitaan Ibu. Tak terasa air mata Alisa menetes. Ia tak terlalu menghiraukan adanya seseorang disampingnya yang sedari tadi senyap, bingung mau berkata apa.

Ya, seseorang itu adalah Reyhan. Malam ini, Alisa kedatangan Reyhan ke rumah sakit, Reyhan datang menjenguk Ibu Alisa. Kebetulan Reyhan sekarang tinggal di Jakarta, dia mengajar di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Jadi ketika mendengar kabar Ibu Alisa sakit, Reyhan langsung meluncur ke rumah sakit.

"Jangan sedih, Alisa." Reyhan membuka pembicaraan, ia ingin mencairkan suasana.

"Kamu tak tau bagaimana kesedihanku melihat Ibuku seperti ini, Reyhan." Alisa melihat ke arah Reyhan. Pandangan mereka bertemu. Reyhan sedari tadi memang memandangi Alisa.

"Aku tau Alisa, aku pernah merasakan, bahkan lebih sakit dari ini, saat Ibuku pergi untuk selamanya," jawab Reyhan.

Alisa tertohok. Airmatanya jatuh.

Tiba-tiba ada langkah kaki mendekat
"Ehhhmm." Suara batuk yang terdengar dipaksakan

"Mas Taufik, kapan datang?" Alisa menoleh kepada suaminya.

Taufik tidak menjawab, entah kenapa hatinya seperti tertusuk duri. Inikah yang dinamakan cemburu. Saat ada pemuda tampan duduk berdekatan dengan istrinya, sangat dekat dan saling bertatapan satu sama lain. Beginikah perasaan Alisa selama ini menyaksikan hubungannya dengan Metta. Ah, Taufik merasa sangat sakit.

"Alisa ...." Suara Ibu terdengar lirih

"Ibu ... sudah bangun?" Alisa segera mendekat ke wajah ibunya.

"Taufik disini?" Ibu bertanya pelan.

"Iya Bu, saya disini," jawab Taufik.

"Nak Taufik, kemarilah." Suara Ibu semakin lemah.

Taufik mendekati Ibu.
"Nak Taufik, Ibu titip Alisa ya." Ibu menghela nafas berat, lalu melanjutkan,
"dan Alisa, Ibu tidak ingin kalian berpisah. Batalkan semua proses perceraian itu." Suara Ibu pelan. Air matanya menetes perlahan.

"Tapi Mas Taufik seminggu lagi akan menikah dengan Metta, Bu," jawab Alisa sambil menangis, tak tega melihat kondisi Ibunya.

"Lanjutkan. Tidak mengapa. Poligami lebih baik daripada bercerai. Ibu tidak ingin anak-anakmu kehilangan sosok ayah. Ibu pernah merasakan pahitnya broken home. Tolong Taufik, jaga amanat Ibu. Berlaku adillah."
Nafas Ibu melemah.

"Ibu, Ibu, Ibuuuuuuu ...." Alisa memeluk Ibu dengan erat, seakan tidak ingin lagi dilepaskannya.

"Alisa, Mas Taufik, bantu ibu mengucapkan syahadat." Reyhan menyadari kondisi Ibu yang sedang menghadapi akhir hidupnya.

Alisa dan Taufik mengangguk. Mereka bertiga menuntun Ibu bersyahadat. Tangis mengalir semakin deras dari mata Alisa.
Akhirnya, Ibu pergi dengan tenang, dan kalimah syahadat terucap dari mulutnya. Wajah Ibu bercahaya. Alisa limbung, ia jatuh pingsan.

****

Hiks... sedihnya... Ibu 😭😭

KEPINGAN HATI ALISA (Sudah terbit)Where stories live. Discover now