RE-WRITE | BAB DUA

44.7K 5.4K 140
                                    

Alexander Alden menatap kota Jakarta dengan sinis. Tidak ada sedikitpun bagian dari kota ini yang membuatnya ingin tinggal lebih lama. Setelah ia bertemu dengan kedua orangtuanya dan menyelesaikan... ia tidak akan kembali ke kota ini. Kota yang mengingatkannya kepada senyum wanita itu, kota yang yang mengingatkannya kepada tubuh wanita itu, kota yang membuatnya mengingkan wanita itu untuk kembali.

Jakarta membuatnya marah. Ia marah karena setiap bagian dari kota ini membuatnya teringat kembali kepada istrinya. Nina, sudah tiada Lex, ia berkata kepada dirinya sendiri.

Samuel Achaari berdeham untuk mendapatkan perhatian temannya, Alex berbalik dan tersenyum sinis, "Apa yang kamu lakukan disini?"

"Apa aku harus memiliki janji sekarang untuk bertemu dengan teman?" tanya Samuel.

"Well, I'm busy," jawab Alex.

"Sibuk menatap Kota Jakarta?" Samuel bertanya dengan sinis.

"Aku baru saja akan keluar untuk bertemu dengan orangtuaku, kamu ingin ikut bertemu?" tanya Alex kepada Samuel. Temannya menjawab, "Tidak, tidak, aku hanya berkunjung saja. So how's things in New York?"

"Sama saja. Less crowded," jawab Alex dengan dingin. Samuel menyadari perubahan sikap temannya semenjak Alex kehilangan istrinya lima tahun yang lalu. "Alex, it has been five years."

"Ya, dan Jakarta masih saja sama."

"Lex, kamu tidak bisa menyiksa diri kamu sendiri setiap kali kamu kembali ke Jakarta. Tidak adil bagi diri kamu, orangtua kamu, terlebih lagi..."

Alex memotong kata-katanya dan berkata dengan marah, "Jangan sebutkan namanya."

"She's still not coming back, Alex."

"Kalau begitu aku akan pergi sejauh mungkin dari kota sialan ini."

"Dani, she's back," Samuel berkata. "She's back di kota sialan ini yang baru saja kamu katakan. Kamu tidak akan pergi menemuinya?"

"Apa aku harus bertemu dengannya?"

Samuel menghembuskan napasnya, dengan sabar ia berkata dan menjelaskan, "Dani adalah adik ipar kamu Lex dan teman baik kamu."

Alex menyipitkan matanya, "Aku menyalahkannya. She's not there ketika—..." Alex tidak bisa menyebutkan nama Nina dan kata-katanya tercekat di bibirnya. "Ketika Nina meninggal?" tanya Samuel.

"Kamu menyalahkan Dani karena she's not there? Aku juga tidak berada di sana ketika Nina meninggal Lex. Kedua orangtua kamu tidak berada di sana ketika Nina tiada. Kedua orangtuanya juga tidak ada. Terlebih lagi, kamu tidak ada di sana. Bukannya sedikit tidak adil kamu menyalahkan Dani?"

"Kenapa kamu harus mearah kepadanya?" tanya Samuel. "Dia juga kehilangan kakaknya."

Alex juga tidak tahu kenapa ia menyalahkan Dani. Mungkin karena ia menginginkan teman baiknya untuk selalu berada di sisinya. Tapi ketika Nina pergi, satu-satunya orang yang terlihat tidak peduli adalah temannya.

"Aku dengar Dani pulang bersama dengan Efra. Mereka terlihat sangat dekat Lex."

Alex mendengus dengan sinis, "Efra's gay, kalaupun mereka dekat, mereka hanya berteman, Sam. What's your point here?"

"Exactly my point. Kamu akan kalah dengan seorang gay. Dani akan memiliki teman baik baru dan Alexander Alden akan merana sendiri. Kenapa harus membencinya, Lex? Aku yakin Nina tidak ingin kamu membenci adiknya sendiri."

Alex membalas Samuel, "Aku tidak membutuhkannya, Sam. She's better off with Efra sebagai temannya. Setidaknya aku tahu kemana Dani peduli."

"Kamu terdengar seperti teman yang cemburuan."

"Aku tidak menginginkan teman yang tidak peduli."

"Well, aku dengar teman gay jauh lebih menyenangkan juga, kalau begitu tidak ada masalah lagi. Alexander Alden boleh kembali mengasihani dirinya sendiri sementara Danielle Maziyar menemukan teman baik yang baru," ujar Samuel dengan senyum di bibirnya. 

LUMIÈRE BLANCHE | ALDEN SERIES #1Where stories live. Discover now