7. Korban Kedua dan Surat Ketiga

31.1K 2.9K 153
                                    

Nizar dan Akbar berdiri membatu di sebuah ruang yang diketahui adalah ruang kepala sekolah. Mereka berdua tak dapat menemukan keberadaan sang kepala sekolah itu.

Bukannya bertemu sang kepsek, Nizar dan Akbar malah dikejutkan dengan seorang siswi yang berlumuran darah di lantai bersandar pada lemari. Tubuh kaku dan matanya yang terpejam itu mampu memberikan informasi bahwa ia telah meninggal.

Nizar mengambil handphonenya dan menuliskan pesan di grup chat penyelidikan mereka.

Nizar.Aby : Ruang kepsek sekarang!

Aka_Verrel : Otw.

***

Mereka berenam berdiri menatap horor pada mayat berlumuran darah itu. Nizar bahkan di awal sempat tak mengenali wajahnya karena tertutup rambut panjang dan darah yang mulai mengering.

Ya, mayat itu adalah Caca. Gadis itu nampak mengerikan sekarang. Penampilan yang acak-acakan. Kulit putih susunya sekarang sudah berubah menjadi pucat. Bibirnya yang biasa dipoles lipstik pink terlihat membiru. Riasannya yang bisa dikatakan menor untuk usia anak SMA nampak luntur.

Arthur bergerak maju mendekati mayat Caca. Ia tak menyentuhnya dan hanya meneliti titik luka pada mayat itu. Jelas ini pembunuhan. Mereka kalah cepat dengan si pembunuh itu.

"Gue ada petunjuk baru. Habis ini kita bahas." Nizar berujar sambil mendekati Arthur. Ia juga mengeluarkan sebuah amplop yang terkena noda darah dan sudah mengering.

"Simpan dulu. Jangan ada yang tau," bisik Arthur.

Tak lama setelahnya, beberapa polisi datang dan mensterilkan TKP. Tim medis juga datang untuk membawa mayat tersebut agar segera dioutopsi. Sirine ambulan dan polisi memang tidak dinyalakan karena saat ini masih berlangsung proses belajar mengajar. Namun beberapa anak yang entah bagaimana caranya bisa keluar dari kelas mulai berkerumun penasaran. Beberapa guru juga ada yang mendekat ke TKP. Termasuk guru piket yang tadi menghubungi polisi untuk datang.

Mereka berenam telah membebaskan diri dari kerumunan yang saling berdesakan itu. Mereka bertemu dua orang polisi yang masih berbincang dengan satpam di dekat mobil polisi.

Melihat Arthur mendekat, dua orang polisi itu seperti tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka memang tidak saling bicara mengingat identitas Arthur yang sedang menyamar. Kedua polisi itu hanya memberikan senyum kaku pada mereka berenam saat saling berpapasan.

Mereka berenam masuk kembali ke ruang OSIS. Setelah mengunci pintu dan memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, mereka kemudian duduk melingkar.

"Barcode," Arthur menggumamkan kata.

"Maksudnya?" tanya Shana.

"Ada barcode berupa sayatan di lehernya," jawab Arthur.

"Maksud lo mayat nya Caca? Kok lo bisa tau itu barcode? Bisa aja kan emang si pembunuhnya ngebuat beberapa sayatan biar si Caca habis darah." Verrel membantah.

"Gue yakin itu barcode. Di mayat Adiwangsa juga ada sayatan barcode di lengan atasnya." Arthur meyakinkan mereka.

"Tau dari mana kalau di mayat Adiwangsa juga ada barcodenya? Lo bahkan tau letaknya secara pasti." Kara memicingkan matanya. Ia menatap curiga pada Arthur.

"Itu nggak penting. Sekarang kita buka surat yang ditinggalin pembunuh. Siapa tahu aja pembunuh itu akan beraksi lagi kalau kita terlambat menyadari." Shana mengalihkan pembicaraan. Entah mengapa ia hanya tak ingin membuat posisi Arthur makin sulit.

BOOK 1 MISSION SERIES: MISSION IN CASE (Pindah ke Innovel) Where stories live. Discover now