Part 1

2.3K 108 6
                                    

Aku mengintip keluar. Untuk kesekian ribu kali. Menatap rumah itu lagi. Rumah kuno bergaya eropa klasik dengan banyak pepohonan rindang di halamannya.

Apa yang kucari sebenarnya, entahlah. Ini bukan tentang apa yang kucari, tetapi ada desau aneh yang memanggilku sejak menginjakkan kaki di rumah baruku sebulan yang lalu.

Rumah kuno itu terletak di seberang jalan. Persis di hadapan rumahku sekarang.

Tepat di jendela kamarku yang berada di lantai atas, aku bisa melihat rumah itu dengan pandangan penuh. Setiap pagi setelah bangun tidur, rumah itu menyapa kala aku membuka tirai. Begitu pula saat bersantai minum teh, rumah seolah menemani. Malam hari saat akan tidur, rumah itu menjadi hal terakhir yang aku lihat.

Aneh. Di pikiranku ini gambaran jelas mengenai rumah itu selalu terbayang.

Ada perasaan khusus yang menarikku untuk terus melihat dan menikmati setiap lekuknya. Pepohonannya, gerbang depannya, atap merahnya.

Ataukah aku sudah gila karena kesepian. Kesepian bisa membunuh. Membuat stres dan depresi. Kemudian bunuh diri.

Tapi aku tidak akan melakukan itu, pemandangan di sekitar komplek ini sangat damai. Walaupun setiap hari sepi, tidak kutemui anak-anak yang berlarian di sore atau pagi hari untuk bermain. Begitu pula dengan para ibu rumah tangga, tidak terlihat mengobrol di tukang sayur seperti kebanyakan ibu-ibu komplek lainnya.

Bahkan tidak ada tukang sayur di sini. Karena pasar sangat dekat. Hanya berjarak 100 meter dari gerbang komplek.

Aku, apa yang kulakukan? Mengamati kegiatan warga dan juga mengamati rumah kosong itu. Menyeramkan bukan? Seorang lelaki lajang berumur 20 tahun, pengangguran dan selalu menatap nanar kearah manapun yang mampu ia amati dari radius sekian ratus meter melalui jendela kamarnya.

Aku seperti psiko yang sedang mencari mangsa, mungkin itu pikiran semua orang kala melihatku mematung di hadapan jendelaku sendiri.

Tidak, aku bukanlah psiko. Aku hanya mengalihkan perhatian. Mengamati rumah kuno itu dan sekitarnya sangat menghibur. Bukankah rumah kosong selalu identik dengan horor, tidak untukku.

Lebih menyeramkan saat aku memandang tumpukan botol infus di tong sampah. Dengan selang kecil dan jarum suntik sisa pemakaian.

Ya, sangat mengerikan. Terlebih saat perawat datang dan menusukkan jarum itu. Kemudian tetesan air infus mulai berjalan dan menjajah setiap aliran darahku. Mengiringi kemanapun mereka menuju.

Ke jantung, paru-paru, otak, lambung, ginjal dan seluruh tubuhku. Mereka baik kok, membawa obat yang sangat dibutuhkan agar aku tetap hidup di dunia ini.

Agar aku bisa bertahan sebentar yang aku sendiri tidak tahu bertahan untuk apa. Orang tua sudah tiada sejak aku kecil. Meninggalkan anak semata wayang mereka yang baru berumur 7 tahun. Mengantarkan diri mereka sendiri ke kematian yang sadis. Terjung bebas menuju jurang karena rem mobil blong. Meledak seketika, membakar jasad sampai tiada sisa.

Lalu aku, masih bertahan tentunya. Yatim piatu dan ringkih. Melawan kebocoran jantung dan kanker otak yang menggerogotiku sejak lima tahun belakangan. Aku tetap bertahan. Mengherankan. Padahal aku sudah ingin mati sejak dahulu.

Ayah meninggalkan aset yang sangat banyak atas namaku, namun aku acuh dan membiarkan adik Ayah, Paman Ben mengelolanya. Sejak aku kecil beliau yang mengurus. Namun di usiaku ini, sekarang sudah mampu untuk hidup sendiri, memilih pergi walau Bibi dan Pamanku menantang keras.

Mereka baik, mereka mengkhawatirkan kondisi kesehatanku yang kadang ingin bernapas saja sulit. Aku sudah besar sekarang, bisa mengurus kehidupan sendiri. Tetapi bukan mengambil perusahaan darinya, untuk apa? Yang penting mereka selalu mengirim uang. Aku tidak mempedulikan itu, ajal semakin mencapai hidupku. Aku hanya ingin sendirian, memutuskan menjauh dari rumah peninggalan Ayahku yang sekarang jadi milik Paman.

"Mas Keanu, ini minumnya. Mas jangan duduk di depan jendela sepagi ini. Ntar masuk angin. Ga baik buat Mas."

Bi Entin menggeser tubuhku dan menutup jendela kamar. Ah, dia benar. Masih pagi sekali. Jam masih menunjukkan pukul 06.00 WIB. Udara juga masih sangat dingin. Tidak terasa karena jaket tebal yang kupakai.

Bi Entin dan suaminya menemaniku selama ini. Merekalah yang mengurus keperluan. Mengantar kemana aku mau dan mengabdikan hidup bersamaku. Mereka sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri, sedang mereka tidak diberkati dengan seorang anak pun.

"Jangan lupa ya, Mas. Sarapannya dihabisin. Ntar emak kesini lagi ngecek. Kalau engga habis nanti emak tambah porsi makan siangnya!"

Bi Entin mengancam. Jarinya menunjuk wajahku. Aku tertawa dan  mendorongnya keluar kamar.

"Iya, Emak. Udah sana. Lelaki butuh waktunya sendiri." Bi Entin keluar dengan senyum.

Dia seperti ibu bagiku. Dia menyuruhku memanggil Emak padanya. Setidaknya kami saling melengkapi.

Aku menatap rumah kosong itu lagi. Semakin penasaran.

Kuraih teropong yang kubeli lewat online shop kemarin untuk menguji daya gunanya. Membidik target. Kemana lagi kalau bukan rumah kuno itu.

Rumah itu hanya satu lantai. Tetapi tinggi pohonnya menjulang melebihi atap.

Aku mengarahkan lensa ke berbagai arah. Ke gerbang depan. Nampak ukiran kepala singa terpatri di pintunya.
Beralih lebih dalam ke halaman rumah. Pepohonan hijau menghalangi pandanganku. Memperbesar dan memperkecil daya tangkap teropong untuk melihat lebih detail.

Diantara pepohonan itu, tepatnya di area belakang rumah disalah satu pohonnya ada ayunan. Memakai rantai besi untuk talinya dan tempat duduk besi dengan ukiran. Bunga-bunga cantik menghiasi rantai, melilit dari atas sampai ke bawah.

Aku fokus pada ayunan itu. Ia bergerak maju mundur perlahan. Seolah ada yang mendorong.

Tiba-tiba sepasang mata tertangkap lensa. Aku terperanjat. Terduduk kebelakang dan teropong itu terpental kelantai.

Apa itu tadi. Sepasang mata. Aku tidak salah lihat. Itu sepasang mata yang menatap. Menatapku.

Aneh sekali, sekujur tubuh meremang. Aku yang tidak pernah takut akan makhluk astral kali ini terasa benar-benar  takut. Sekaligus penasaran. Apa itu tadi?

Ini sudah hampir siang, matahari sudah mulai menunjukkan warna kuning keemasan. Tidak ada hantu di siang hari. Begitu yang orang tua katakan.

Aku berdiri. Mengambil teropong.

Mengarahkannya ke ayunan tadi. Kali ini lebih siap dengan segala kemungkinan. Aku tidak akan melepaskan pandangan.

Ayunan itu bergerak maju mundur.
Tak kusangka. Ia mengayunkan seseorang di kursinya. Seorang gadis berambut ikal panjang kecoklatan. Wajahnya putih pucat. Sangat putih bahkan. Bentuk tubuhnya langsing tinggi semampai dengan kaki jenjang. Memakai dress putih dan sepatu putih pula.

Dia berayun ke depan dan ke belakang. Roknya melambai kemana arah angin membawanya. Dia tersenyum manis. Menikmati kesendiriannya.

Dia cantik. Sangat cantik. Belum pernah aku melihat paras secantik dia. Hatiku menarik dirinya sendiri, condong kepada gadis misterius itu. Detak jantungku bertambah satu digit lebih cepat. Namun mengalahkan kecepatan kepak sayap kupu-kupu.

Semua yang ada di sekitarku berjalan sangat lambat. Detik jarum jam dinding terdengar menusuk gendang telinga. Begitu pula kicau burung dan lembut angin sepoi menggoyang setiap inci dedaunan. Semua bersatu bak musik ditelingaku dan gadis manis itu yang menarikan tarian indahnya.

Sangat indah, syahdu.

Kemudian ditengah angin syurga yang membelai, gadis itu menatap. Tepat kearahku. Menatapku lekat dan kemudian ia turun meninggalkan ayunannya. Pergi entah kemana. Dia menghilang di balik pepohonan. Seketika, kurasakan rindu merayapi kalbu.

ALANIS (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang