Part 4

875 57 2
                                    

Alanis menari riang, helai putih rambutnya menari kesana-kemari. Seperti biasa aku hanya penonton, sangat bersyukur akan nikmat Tuhan karena telah menyuguhkan pemandangan indah seperti ini. Senyum terasa tak lepas dari bibir.

***

Aku membuka mata. Ah, ternyata hanya mimpi. Selalu saja mimpi tentang gadis itu menghiasi malam bahkan saat aku belum mengenalnya sekalipun. Keindahan dan binar bahagia. Alanisku.

Terbangun pada malam hari seperti ini sudah terlalu biasa. Tidur nyenyak jarang kudapatkan tetapi terbangun karena mimpi indah baru sekali ini terjadi. Biasanya bunga tidurku selalu buruk dan menyeramkan. Dikejar-kejar, terjatuh ke jurang, melayang di udara tanpa pegangan termasuk melihat wajah-wajah mengerikan. Sosok Alanis dengan cintanya membawa ketenangan batin bagiku.

Langit-langit kamar berpendar seperti berbintang-bintang, begitu juga hati ini. Alanis tidak memberikan jawaban pasti akan pernyataan cintaku tetapi pelukan hangatnya menegaskan segala. Dia juga mencintai dan itu cukup membuat kami saling mengerti perasaan masing-masing.

Aku berjalan mendekati meja dan meneguk air putih. Pikirku tergerak untuk menyibak tirai dan menengok keluar. Malam semakin pekat, jam menunjukkan pukul 23.00. Diluar juga gelap, sinar lampu hanya datang dari rumah-rumah warga dan penerangan jalan. Cuma rumah Alanis yang tidak menunjukkan cahaya apapun, pantas saja dikira rumah angker. Mungkin aku harus menambah beberapa bohlam di sana. Kasihan Alanis hanya sendirian, Ayah Ibunya telah pergi meninggalkan dunia ini. Bagaimana dia bisa hidup sendirian. Bagaimana dengan kebutuhannya sehari-hari walau aku tahu bahwa dia selalu berbelanja di pasar terdekat hanya pada malam hari.

Ponselku berkedip, ada pesan WA masuk. Ternyata dari Revalina, aku hampir melupakan anak konyol itu.

[Akhirnya online juga. Kemana aja dari kemarin. Semua pesan WA-ku udah tak hapus. Ngasi nomor tapi ga aktif. *emoticon marah.]

Aku meng-klik tombol balas.

[Maaf ya. *emoticon senyum]

Aku memang jarang mengaktifkan gawai, karena sejujurnya tak punya teman untuk dihubungi bahkan sosial media satupun tak punya. Paman dan Bibi pun sudah mengerti dan lebih memilih meneleponku lewat ponsel Pak Herno, itupun hanya satu bulan sekali saat akan mentransfer uang. Hingga akhirnya ponsel tergeletak begitu saja sampai kehabisan daya. Kemarin tanpa sengaja setelah mencari informasi tentang Albino di mesin pencari, aku terlupa mematikan sambungan internet.

[Kenapa belum tidur?]

Revalina mengirim pesan lagi.

[Terbangun aja. Kamu belum tidur?] balasku.

[Belum. Tadi ada panggilan telepon.]

[Sama pacar ya?] tudingku.

[*emoticon tertawa. Ga lah. Belum tau juga.]

Aku menatap gawai, mereka-reka jawaban apa yang layak kuutarakan. Canggung rasanya, tidak seluwes saat bersama Alanis. Belum sempat mengetik, chat susulan datang.

[Kau percaya tidak dengan cinta pada pandangan pertama?]

Pertanyaan klise. Kalau dulu aku akan mementahkan kepercayaan ini atau paling tidak berujar tidak tahu. Tapi sekarang sepertinya aku mempercayainya. Kuketik beberapa kata.

[Cinta itu datang dari Tuhan. Entah pada pandangan pertama atau karena terbiasa, Dia akan menganugerahkan cinta. Kenapa? Sedang jatuh cinta?]

Gawai bergeming. Revalina sedang mengetik,

[Mungkin.] Balasnya.

[Awalnya memang ragu. Tetapi seiring pertemuan yang makin sering mungkin benih cinta mulai muncul] ketikan balasan kukirim.

ALANIS (Lengkap)Where stories live. Discover now