PART 3

981 67 1
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, jalanan masih lengang. Beberapa tetangga keluar untuk berbelanja termasuk Bi Entin dan Pak Herno. Aku berencana jalan santai hari ini. Udara berlapis embun menguar kala membuka pintu. Begitu menyegarkan. Jarang sekali udara perkotaan begitu bersih, mungkin karena faktor banyaknya pepohonan di sekitar sini. Tidak salah pilihanku membeli rumah dilingkungan seasri ini.

Aku menapaki aspal dingin. Namun ketertarikan bukan untuk lari pagi. Mengendap-endap kecil sembari mengamati sekeliling, hari ini aku ingin masuk ke rumah itu dan mencari tahu.

Aku berdiri di depan gerbang. Melirik kiri dan kanan kemudian berinisiatif mengetuk, saat tangan ingin menyentuh permukaan gerbang tiba-tiba pintunya terbuka sedikit. Tidak terkunci. Aku mendorong perlahan gerbang tersebut dan memasuki area rumah.

Kesan pertama, indah. Beraneka bunga tumbuh subur dibawah pepohonan memenuhi pekarangan dengan warna-warni. Meskipun ada semak belukar di beberapa tempat tetapi tidak membuat halamannya berantakan justru semak itu berikan kesan liar nan terawat. Ada jalan kecil menuju kerumah tersebut, sepanjang tepi jalan juga tak luput dari berbagai bunga. Teduh dan asri.

Daun kering berjatuhan seolah menyambut kedatanganku, sedikit mengherankan mengingat tidak ada angin yang bertiup. Aku berjalan menyusuri gang kecil dan sampai di depan pintu rumah.

Gaya eropa klasik sangat dominan dalam arsiktekturnya. Dua tiang beton dengan ukiran wanita bersayap menjulang tinggi. Pintunya terbuat dari kayu jati nan hitam pekat. Begitu pula dengan dinding rumah, seluruhnya semen dengan cat putih bersinar bak terbuat dari batu marmer.

Aku ingin mengetuk pintu namun tertahan, jika gadis itu bertanya aku mau apa, bagaimana menjawabnya.

Saat akan mengetuk aku dikagetkan dengan kemunculan si gadis dari samping rumah. Dia terlihat memegang buket bunga kecil-kecil berwarna putih dan kuning. Aku mematung, begitu pula dia.

Mata birunya menatapku tajam, dia melangkah menghampiriku. Gaunnya menari seiring langkah si gadis hingga beberapa saat kemudian dia telah berdiri di hadapanku.

Netra kami beradu, sedetik kemudian senyum kecil dari bibir mungilnya mencairkan ketegangan. Darahku berdesir dan jantungku menghangat.

Dia mengulurkan tangan.

"Hai, Apa kabar? Siapa kau?" Suaranya merdu bak bunyi lonceng kecil di leher seekor kucing. Manis sekali. Aku meraih tangannya dan kami bersalaman.

"A-aku Keanu, tetangga baru. Baru pindah kesini sekitar sebulan lalu. Maaf karena menerobos masuk," ujarku. Dia lagi-lagi tersenyum.

"Gak apa-apa. Gerbangnya memang tidak terkunci. Selamat datang di rumahku. Ayo kita masuk." Dia menarik tangannya dan berjalan ke arah pintu rumah dan masuk ke dalam. Aku bagai kerbau tertusuk hidung hanya mampu mengikuti arahan dan sepertinya aku  menyukai itu.

Interior rumah sangat cemerlang. Aneka hiasan bermotif bunga tersebar kesana-sini. Khas wanita.

"Silakan duduk, aku akan mengambil minuman." Dia pergi dan menghilang di lorong rumah. Mataku melanglang buana menelanjangi isi rumah. Ada lemari etalase di ujung kanan tepat disebelah lorong tempat gadis itu pergi tadi.

Di sudut kiri tergeletak vas ukiran mahal dengan bunga mawar imitasi di atasnya. Hanya ada satu set sofa serta meja. Hanya itu isi ruang tamu namun mataku tertarik pada jejeran foto di lemari etalase. Aku berdiri dan berjalan menuju lemari itu, nampak foto si gadis bersama beberapa orang, di seluruh bingkai pasti ada dirinya.

Dia berdiri dan tersenyum bersama dua orang lelaki dan wanita dewasa, rupa mereka agak mirip dia. Mungkin itu orang tuanya. Di bingkai lain ada fotonya tengah bercengkrama dengan seekor kucing keturunan persia. Dia tersenyum sumringah, sangat cantik.

ALANIS (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang