Part 2

1.3K 75 3
                                    

Detik berikutnya terasa sangat lama. Aku mengedarkan lensa mengitari rumah dan pekarangnya, namun tidak kutemukan sosok gadis tadi. Mata ini nanar mencari. Bagaimana bisa sebuah rumah kosong yang seperti sudah bertahun-tahun menampilkan sosok seorang gadis bermain di halamannya.

Sudah berjam-jam mataku mengembara akhirnya menyerah meski dihantui rasa penasaran. Ah, mungkin saja itu tetangga atau orang yang tinggal di sekitar sini. Dia bermain di sana karena tempatnya teduh dan nyaman. Meski aku tidak pernah melihat gadis itu sebelumnya.

***

Jemari putih, lekuk buku jari mematri indah melingkari tanganku. Padang rumput luas bernuansa hijau dengan siluet pepohonan berbunga warna-warni. Gadis itu tersenyum, pegangan tangannya terasa hangat. Mata birunya teduh memicing dengan lentik bulu mata berwarna putih serasi dengan warna rambutnya.

Dia tertawa dan sesekali tersenyum. Gerak bibir mungilnya mengatakan sesuatu namun aku tidak bisa menangkap apa yang dia katakan. Telingaku tuli oleh kecantikan dan gemulainya dia. Mata terfokus pada netranya yang bersinar. Waktu berjalan perlahan, kelopak mata berkedip dalam kecepatan 0,001 per detik. Kupu-kupu berirama mengitari sosoknya. Gaun tipis membugkus tubuh serta seluruh kaki jenjang. Setiap gerak bibir, setiap senyum dan lirikan mata membawa naik aliran darahku. Bahagia, itulah dirinya. Itulah identitasnya.

Namun tiba-tiba semua bergerak mundur, dia perlahan menjauh. Nuansa alam musim semi mundur dan bahagia itu pergi serta tak dapat kuhentikan. Membawa masuk jauh kembali ke awal sebelumnya. Dimana semua gelap, dunia indah dan bahagia lenyap tak bersisa.

Tetapi di kejauhan ada siluet, entah wajah seseorang atau sesuatu. Ia mendekat, semakin dekat. Wajah itu mengejutkan, ia tersenyum menyeringai dan menghambur padaku.

"Aaaaa...!!!"

Aku terperanjat, netraku mengerjap mencari lokasi tubuh ini sesungguhnya. Pemandangan yang familiar, kamar pribadi dengan segala antributnya dan diri ini yang masih berselimut di ranjang.

Bajuku basah, keringat dingin menyergap. Ah, mimpi buruk lagi. Untuk kesekian kalinya. Kuusap keringat di dahi. Jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Matahari telah memancar menunjukkan terangnya. Sedetik kemudian debar jantung meningkat, jadi kacau dan tak beraturan. Aku beranjak, meraih botol air mineral di meja dan menenggaknya.

Setiap kejutan ini tidak baik bagi jantung yang sudah sekarat. Semakin banyak kejutan maka semakin tak beraturan detaknya. Akibatnya aku jadi mengalami debaran yang berlebihan. Jika sudah begitu maka ada obat yang harus aku konsumsi dan jika tidak membaik maka obat itu harus disuntikkan melalui infus. Sungguh, aku tak mau melihat seluruh peralatan itu lagi.

Sebelum tubuh ini menunjukkan tanda-tanda gawat, aku merogoh laci dan menemukan Beta Blockers, sisa satu pil. Aku menelannya dan perlahan merasa debaran itu kembali tenang. Ku hela napas. Ah sulitnya, penyakit ini membuat sulit berinteraksi dengan manusia. Sulit berada di keramaian karena khawatir terkejut oleh bunyi-bunyian keras. Sulit bergaul pula, karena jika aku tersinggung atau marah maka detak jantung akan kacau.

Setelah itu maka kepanikan melanda, mau tak mau aku harus menelan pil lagi. Membuatnya seperti candu padahal aku harap bisa secepatnya bebas dari semua ini, seolah itu mungkin.

Oleh sebab itu aku di sini, pindah ke rumah yang damai. Tidak sekolah maupun melanjutkan kuliah. Tidak punya teman sekolah karena aku Home Schooling, kecuali saat Sekolah Dasar dan Menengah Pertama. Aku bersekolah layaknya anak-anak normal.

Setelah itu, saat penyakitku makin parah bahkan bertambah dengan kanker otak, Paman tidak mengijinkan aku melanjutkan ke SMA atau kuliah. Beliau khawatir dengan kesehatanku.

Ini sudah sangat siang, biasanya di jam seperti ini aku akan keluar rumah sekadar berjalan santai mengelilingi komplek. Dan semestinya memaksaku untuk keluar, kunjungan rutin menemui Dokter untuk kontrol bulanan dan meminta resep obat tambahan buatku.

ALANIS (Lengkap)Where stories live. Discover now