XXI - Humanity (2)

39 13 0
                                    

Sebuah tangan yang tampaknya sudah ditakdirkan bakat melukis tersebut sedang sibuk menggenggam kuas yang telah dibumbui dengan cat akrilik. Senyum sumringah yang ditampakkan dari bibir tipis sang seniman bermekaran di tengah kerumunan siswa-siswi yang berlalu lalang. Dipadukan dengan segarnya udara kota Sheffield yang sepi, menambah ketentraman dalam diri gadis itu. Shane.

Dirinya tenggelam dalam lautan imajinasinya sendiri, yang tentunya sedang ia tumpahkan sedikit demi sedikit ke dalam kanvas berukuran 40x40 cm di depan tubuh mungilnya. Hobi sekaligus kegiatannya tersebut sempat terhenti sejenak ketika sebuah tangan putih kekar menggenggam bahunya.

Pria itu duduk tepat di samping Shane, dengan tangan yang sudah ia tepis sendiri dari bahu sang gadis. "Tidak sulit mencarimu. Kau selalu kesini setiap hari," ujar si pria tersebut sambil memerhatikan coretan abstrak pada kanvas Shane.

"Hai Tyler!" Shane menyapa dengan ramah sambil tetap mempertahankan wajah sumringahnya.

"Butuh berapa lama lagi, Shane?" tanya Tyler yang kini beralih memerhatikan jam tangan perak yang ia beli dari Switzerland beberapa minggu yang lalu.

Seolah tergerak mengikuti kegiatan pria tampan yang kulitnya mulus tersebut, Shane ikut-ikutan memerhatikan jam tangan pada lengan kirinya. "Hmm, sepuluh menit lagi. Kalau kau bosan, jalan-jalan saja," perintah Shane yang dijawab dengan anggukan oleh Tyler.

Mereka adalah sahabat dekat. Keduanya sudah saling mengenal sejak masih sama-sama berusia dua tahun. Kedua belah pihak keluarga pun sudah sangat akrab dan mereka saling melontarkan guyonan perihal ingin menjodohkan Shane dan Tyler.

Bagi Tyler, ia sendiri sangat antusias dan menantikan kebenaran dari perjodohan tersebut.

Tapi tidak untuk Shane. Anak itu bukannya tidak menyukai Tyler, karena menurutnya Tyler sangat tampan luar dalam, ia juga memiliki kepintaran yang diluar nalar manusia, begitupun sifat pemberani yang tumbuh ketika dirinya mulai mengikuti ekstrakurikuler pecinta alam.

Siapapun gadis yang melihatnya, pasti akan jatuh hati pada sosok Tyler.

Namun bagi Shane, ia trauma mencintai sosok laki-laki ketika ditinggalkan oleh Ayahnya sendiri. Ia selalu menepis perasaannya kepada Tyler, menganggap itu semua hanya angin lalu dan tidak pernah memberikan seluruh rasa cintanya kepada Tyler.

Jika dilihat dari sudut pandang Tyler, mencintai Shane adalah suatu tantangan. Lelaki tersebut tahu persis mengenai trauma Shane. Namun ia juga mengetahui bahwa Shane diam-diam menaruh hati padanya. Tidak, Tyler sama sekali tidak kegeeran. Ia pernah tidak sengaja membuka drawing book milik Shane yang tertinggal di kamarnya, dan menemukan banyak sekali sketsa wajah dirinya dalam berbagai macam ekspresi. Tyler tersenyum kecut melihat isi buku tersebut, meskipun terselip rasa gembira dalam hatinya.

***

Shane terbangun dari mimpinya. Kali ini ia bersyukur bukan mimpi menyeramkan itu yang datang, melainkan mimpi tentang seorang lelaki yang selama ini ia kagumi, Tyler.

"Aku merindukanmu," ucap Shane sangat pelan sambil mengelus-elus pipinya yang terasa panas akibat cengkeraman Cliff semalam.

Shane memang remaja yang labil. Ia mudah sekali tergoda akan ketampanan seseorang. Tetapi, dirinya paling tahu persis bahwa hanya ada sosok Tyler dalam hatinya. Meskipun seringkali ia menyangkal perasaannya dan melukai hati lelaki tersebut.

"Shane..."

Suara pelan Nenek yang lebih terdengar seperti rintihan itu berhasil menyadarkan lamunan Shane tentang Tyler.

Dirinya teringat akan keberadaan ia dan kedua orang di depannya saat ini.

Tidak sepantasnya ia terbawa perasaan dalam situasi begini.

SHANE : My Different World [COMPLETED]Where stories live. Discover now