Bab 8

8.5K 688 57
                                    

Sudah dua pagi berturut-turut aku dibangunkan oleh sepasang tangan hangat yang memeluk tubuh ini dan suara detak jantung suamiku di bawah pipi.

Tangannya perlahan membelai kepalaku, lalu sepanjang rambutku sampai ke pinggang sebelum dia mulai lagi dari atas. Dia berulang-ulang kali mengelus rambutku, gerakannya nyaris membuatku kembali tidur. Berbeda dengan gejolak emosi yang kurasakan saat berbaring bersama Sasuke di malam hari, aku merasa bangun di lengan Sasuke sangat menenangkan, dan anehnya ... sangat menyenangkan. Merebahkan kepalaku di dadanya terasa sangat nyaman dan tanpa sadar aku tersenyum malu.

Aku berbaring tak bergerak selama beberapa menit. Kenangan semalam membanjiri benakku - mulai dari perkataan Sasuke yang kudengar di kebun, kecemasanku tentang pernikahan kami yang belum sempurna, sampai dengan sentuhan lemah-lembut Sasuke di puncak payudaraku yang setengah terbuka. Ada rasa geli yang aneh dan asing di kulitku selama beberapa menit setelah Sasuke berhenti menyentuhku, dan hanya dengan memikirkan jemari Sasuke yang meluncur di kulit ini - dengan jarak yang begitu dekat ke area intim tubuhku membuat jantungku berdetak kencang.

Lamunan langsung buyar ketika merasakan bibir Sasuke mengecup puncak kepalaku, napasnya yang berhembus di sana terasa sejuk. Aku mendongak dan menatap matanya. Sasuke sedang tersenyum kecil padaku.

"Selamat pagi, istriku," kata Sasuke.

"Selamat pagi, Sasuke," jawabku, lalu cepat-cepat memalingkan muka, aku tersipu malu ketika menatap matanya. Kecupan bibirnya di kulitku kembali terbayang. Aku melihat ke jendela. Sinar matahari sudah masuk melalui celah-celahnya. Aku tidur sangat larut tadi malam, karena tubuhku butuh waktu yang lama untuk pulih dari sentuhan Sasuke sampai akhirnya terlelap. "Matahari sudah tinggi."

"Ya." Sasuke mengangkat bahunya dengan santai. Aku kembali menatapnya, dia masih tersenyum. "Kita tidak perlu buru-buru hari ini. Dan aku senang bangun bersamamu di pelukanku."

"Apa kau sudah lama bangun?" tanyaku, berharap dapat mengalihkan perhatian Sasuke dari pipiku yang hampir merah permanen.

"Tidak juga," kata Sasuke sambil kembali mengangkat bahu. "Aku sedang memikirkanmu."

"Benarkah?" aku kembali memalingkan muka, wajahku semakin panas. Kutebak-nebak apa yang ada di pikirannya, mungkin ini berhubungan dengan peristiwa semalam atau mungkin saat aku tidur.

"Ya."

"Apa aku melakukan kesalahan?"

"Tidak!" Sasuke langsung duduk dan menarikku bersamanya sampai aku duduk di sampingnya di atas tempat tidur, tangannya masih berada di pundakku. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

Aku menarik napas dalam-dalam. Kenapa aku berpikir begitu? Karena semua yang kulakukan sejauh ini salah, itulah sebabnya. Aku telah membuat marah dan malu suamiku, sampai-sampai dia lari ke pelukan wanita lain pada malam kedua pernikahan kami hanya karena aku tidak bisa berbaring tenang dan tersenyum saat dia menjamah tubuhku. Pada akhirnya, aku takut melakukan kesalahan karena dapat mengancam nyawa.

"Karena aku belum melakukan sesuatu dengan benar," kataku akhirnya. "Karena aku ... tidak cukup bagimu."

"Tidak cukup?" ejek Sasuke. "Sakura, aku tidak tahu kenapa kau berkata seperti itu."

"Aku belum ... kita belum ..." aku berhenti bicara dan menarik napas dalam-dalam. Jemari Sasuke menangkup daguku dan dia melihat jauh ke dalam mata ini.

"Kita sudah membicarakan hal ini tadi malam," kata Sasuke. "Kau menawarkan dirimu padaku dan aku membuat keputusan untuk menunggu."

Requiem for a DesireWhere stories live. Discover now