28.

4.9K 359 20
                                    

Selama lima hari di Bandung, aku benar-benar dibuat sibuk. Kami kesana-kemari mengurus surat pindah, lalu setelah beres urusan surat pindah, kami mendaftarkan Bella ke sekolah yang sama dengan sekolah Diandra yang berjarak tak terlalu jauh dari rumah.

Hari ini hari keenam kami di Bandung dan seharusnya merupakan jadwal kami kembali ke Wonosobo, tapi aku meminta pada Ditya agar menunda hingga besok. Badanku benar-benar lelah. Kami berdua hanya bersantai di rumah. Hanya aku lebih tepatnya, karena Ditya sesekali mengecek pekerjaannya di laptop.

Menjabat sebagai arsitek senior di sebuah kantor arsitek yang cukup ternama di sini, membuat Ditya sering mendapat email dari kantornya yang juga milik sahabatnya itu saat cuti sekalipun. Meski begitu Ditya tetap diperbolehkan bekerja di mana saja, tanpa perlu ke kantor. Dia hanya perlu menerima dan mengirim tugasnya lewat email. Itu sebabnya, Ditya bisa berlama-lama di Wonosobo tanpa takut dipecat.

Ditya menghampiriku yang sedang duduk bersandar sofa di depan tv. "Nggak pengen masak apa gitu buat makan?" tanyanya seraya duduk di sampingku.

"Nggak, kita makan di luar aja, ya. Toh, besok kita juga pergi lagi, kan?" tolakku.

"Oke, Mah, aku ngikut kamu aja," godanya. Yang kubalas dengan pukulan di dadanya.

"Biasain diri dong, Mah. Aku lihat kamu juga belum manggil aku mas kayak yang udah kita sepakatin. Tiap ada orang lain kamu selalu bisa melipir, biar nggak perlu manggil aku mas."

Jadi, Ditya ternyata tahu kalau aku selalu mencari cara untuk menghindar dari keharusan manggil dia 'mas' saat di depan orang lain?

"Belum saatnya aja kali, ya, ntar kalau udah saatnya juga kesampaian, kok."

"Hhh ... Terserah kamu ajalah," balas Ditya lelah.

"Oh iya, kita mau nyari ART kapan?" tanya Ditya yang membuatku mengerutkan dahi bingung.

Bagaimana nggak bingung, bukannya aku di sini akan berperan sebagai ART-nya Ditya? Kenapa dia bilang mau mencari ART?

"Maksudnya gimana, Dit?"

"Nyari ART buat di sini, biar kamu nggak capek ngurus rumah, lagian sekarang ini udah aman sekalipun kita datangin ART yang masih muda, soalnya aku udah ada istri, nggak bakal jadi omongan orang," jelas Ditya enteng.

Aku memutar tubuhku menghadap Ditya, memberikan seluruh atensiku padanya.

"Tunggu dulu, kamu mau nyari ART, Dit?" Ditya mengangguk. "Lalu apa gunanya aku di sini? Bukannya kesepakatan kita di awal tuh, aku di sini bertugas ngurus rumah sama anak-anak? Kalau ujungnya kamu datangin orang buat ngurus rumah, peranku di sini cuma sebagai pajangan doang, nih?"

Ditya meraih jemariku dan menggenggamnya. Aku coba melepaskan, namun gagal karena Ditya mengeratkan genggamannya dan memberi kode lewat matanya untuk tidak berontak.

"Aku cabut omongan aku soal kesepakatan kita dulu untuk pernikahan kita, nggak ada lagi yang namanya kamu sebagai ART dan aku sebagai bos kamu. Hanya ada aku, suami dan kamu, istri dan anak-anak kita sebagai keluarga yang sesungguhnya. Aku mau kita menjalani pernikahan ini dengan tulus, meski kamu belum bisa menerimaku, tapi tolong, jangan menganggap aku sebagai bos kamu. Kalau kamu belum bisa anggep aku sebagai suami kamu, anggep aja aku sebagai temen kamu. Aku akan menunggu sampai kamu siap menerimaku," pinta Ditya panjang lebar, lembut dan tulus.

Aku terhenyak mendengar permintaan Ditya.

Nggak bisa, Dit. Satu-satunya suami buatku hanya Mas Rafi.

Lagupula, kenapa tiba-tiba Ditya membatalkan kesepakatan kita?

"Dit, kamu 'kan tahu sendiri aku gimana? Aku rasa, aku nggak bisa ngikutin kemauan kamu yang ini, kita jalani aja sesuai kesepakatan awal. Kita hanya menjadi suami-istri di depan orang tertentu aja," tolakku. Aku melepaskan tanganku dan berlalu menuju taman kecil di samping dapur.

Second LoveWhere stories live. Discover now