39

5.5K 370 13
                                    

Aku berlari menyusul Ditya yang berjalan cepat keluar halaman. Ditya jalan biasa saja sudah termasuk cepat buatku, apalagi ini yang jalannya cepat.

Aku semakin cepat berlari karena kulihat Ditya juga sudah mulai lari kecil. Astaga, kita ini apa, kenapa malah lari-larian begini.

"Maaass! Tungguu!" teriakku saat jarak kami makin jauh.

Ditya tetap lari, entah sebenarnya dia mendengar atau tidak.

Dengan sekuat tenaga aku mempercepat lariku dan hampir meraih bahu Ditya. Ya, hampir, karena detik berikutnya aku malah tersandung kakiku sendiri dan jatuh berlutut. Dan ajaibnya, Ditya sama sekali nggak sadar, dia tetap berlari kecil. Kesal, sedih dan malu bercampur di dadaku. Dan lebih kesal lagi karena sekarang air mataku sudah mulai jatuh tak tahu diri.

Kenapa musti nangis, sih?

Aku meraih kerikil yang cukup besar dan melemparkannya kearah Ditya.

Takk

Lemparanku mengenai bahu kanannya. Ditya sontak berhenti dan menoleh ke belakang. Saat matanya bertemu denganku, Ditya terlihat terkejut dan lari menghampiriku.

"Astaga, Yang! Kamu ngapain duduk di situ?" teriak Ditya.

Kekesalanku semakin membuncah, duduk katanya???

Ditya membantuku berdiri. Melihatku menangis, Ditya menuntunku kembali ke rumah. Begitu masuk rumah, aku langsung masuk ke kamar tanpa menghiraukan Ditya. Entahlah, rasa bersalahku tadi tiba-tiba saja menguap, berubah jadi rasa kesal. Dan juga rasa nyeri di lututku.

Ditya menyusulku masuk kamar, lalu melepaskan earphone ditelinganya.

Hah! Pantas saja dipanggil nggak dengar, tahu gitu dari awal aku lempar batu saja. Nggak perlu teriak dan lari-lari yang ujungnya membuatku jatuh.

"Kamu kenapa?" tanya Ditya mendudukkan diri di sebelahku.

"Aku tuh tadi ngejar kamu, aku panggil, kamu nggak denger, makanya aku lari, dan ujungnya aku jadi jatuh, itu pun kalau aku nggak lemparin batu, kamu nggak tahu kan?" serangku.

"Hah? Jadi tadi itu kamu jatuh? Bukannya lagi duduk?" Ditya terkejut.

Astaga, Dityaaa!!!

"Ya kamu pikir aja, ngapain aku duduk di pinggir jalan kayak gitu? Dikira aku ini apa?" omelku.

Ditya menggaruk kepalanya frustasi. "Kamu kenapa lari-lari? Kamu itu lagi hamil, lupa apa! Apalagi tadi kamu bilang, kamu jatuh juga. Ya ampun, Yang, kalau kamu kenapa-napa gimana?" geramnya.

"Kenapa jadi kamu yang marah, sih? Aku kayak gini juga gara-gara ngejar kamu!"

"Ya mana aku tahu, Yang? Aku kan pakai earphone begitu keluar dari rumah Ibuk," Ditya tak mau kalah.

"Tau ah, sana kamu terusin aja larinya!" aku mendorong bahu Ditya.

Aku berjalan keluar kamar. Lututku semakin nyeri buat jalan. Sampai ruang tengah aku segera mengambil kapas dan alkohol. Kulihat celana kanan bagian lututku sedikit terkoyak. Aku duduk di sofa, dan membuka celana panjangku hingga lutut. Dan benar saja, lutuku tergores dan ada sedikit darah yang keluar.

Ditya yang baru saja keluar kamar segera menghampiri dan duduk bersimpuh di depanku, lalu merebut kapas dan alkohol di tanganku.

"Kok bisa sampai kayak gini sih, Yang?" tanya Ditya, tangannya membersihkan lukaku dengan hati-hati.

"Ya bisalah, orang aku larinya cepet trus kesandung kaki sendiri," ketusku.

Ditya membersihkan dengan telaten, sambil sesekali meniupi lukaku. Setelah selesai Ditya menaruh kapas dan alkoholnya di meja, lalu duduk di sampingku dan meraihku ke dalam pelukannya.

Second LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora