[4] Sifat Lain Hanna

3.2K 339 5
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

"Han! Hanna!"

Hanna mempercepat langkah. Sudah dibilang, ia menulikan pendengaran setiap kali Yohan memanggil atau mengajaknya bicara. Entahlah, ia selalu kesal sendiri.

"Mengabaikan orang lain itu nggak baik ...."

Hanna memberhentikan langkahnya. Lalu berbalik, menghadap Yohan. "Kenapa, sih? Kamu nggak usah kayak gini, aku nggak suka."

"Aku cuma mau minta maaf."

"Iya, aku maafin." Hanna menyahut, meskipun tak mengetahui apa yang Yohan maksud. Gadis itu berlalu dengan langkah cepat.

"Han! Tunggu dulu!"

"Apa lagi, sih?!" Hanna meralat, ia sadar sudah terlalu berlebihan. "Ada ... apa?" Nadanya lebih lembut.

"Kamu udah tau maksud aku?"

Hanna terdiam. Jika ia berkata 'sudah' sekarang juga, itu namanya berbohong. Dan, ia sama sekali tidak suka itu. Akhirnya, ia menghela nafas berat sebelum bertanya, "Apa?"

"Jangan marah soal kemarin, ya?"

Hanna berpikir sejenak, lalu menghadap Yohan, tapi bukan tepat pada matanya. Karena itu bukan hal yang mudah baginya. "Hidup nggak perlu seterbuka itu. Kita belum kenal dekat. Aku nggak pernah dekat sama siapapun. Denger kamu kemarin ngomong kayak gitu, itu malah bikin aku kesel. Aku nggak mau Ayah salah paham sama aku. Kamu juga belum kenal sama siapapun di keluarga aku. Jadi, mohon jangan diulangin." Hanna menjelaskan dengan raut datar, tapi terkesan tegas. Memang ciri khasnya.

"Iya. Aku emang belum kenal dekat, belum kenal siapa-siapa. Tapi, apa salahnya memulai?"

Hanna memejamkan mata sejenak. "Kenapa kamu ngelakuin itu?"

"Karena aku emang suka, Hanna."

"Kenapa kamu ngelakuin itu kalo dari awal kita itu udah susah bersatu?" Hanna menambahkan.

Yohan terdiam. Setiap Hanna membahas perbedaan di antara mereka, hatinya sedikit goyah. Beberapa kali ia ragu, sebenarnya, atas dasar apa ia mencintai gadis ini? Tapi, ia tak mau menyerah sebelum apa yang diinginkannya tercapai.

"Karena kamu ... pantas diperjuangkan."

*****

Hanna menutup bukunya dengan perasaan campur aduk. Bahkan, sudah beberapa buku itu tumpuk mengeliling, pikirannya masih tidak bisa fokus belajar karena mengingat kejadian sepulang sekolah tadi. Hatinya berkecamuk. Bagaimana caranya agar ia tidak terpengaruh dengan perkataan manis Yohan? Ia muak sekarang! Sungguh.

Dibukanya kembali buku paket pembelajaran kelas. Tapi, selang beberapa menit membaca, pikirannya kembali terganggu.

"Kamu ... pantas ... diperjuangkan."

Hanna berteriak frustrasi. Kadang, ingin saja ia membuat Yohan membencinya. Tapi, ia tidak tahu caranya. Bersikap cuek dan mengabaikan saja sudah mempertaruhkan diri untuk menerima dosa. Niatnya agar ia tak jatuh dalam cinta seseorang yang tak terikat dengan agamanya. Hanna tak mau sakit .... Ia, tidak ingin mengalami cinta beda agama ....

"Hanna, kenapa teriak-teriak?" Mama bertanya di ambang pintu. Tatapannya sangat penasaran terhadap apa yang dilakukan anak gadisnya. Mengelilingi diri dengan buku-buku tebal, lalu berteriak tidak jelas? Hanna sungguh mengherankan.

"Mama ...." Hanna tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih rapinya. "Hanna ... mau belajar. Mau ikut olimpiade kalo masuk tahap pertama. Hehe."

Itu bukan bualan. Hanna memang tengah menginginkan menjadi salah satu siswi yang diikutkan olimpiade akademik nantinya. Tapi, belajar hari ini, pikirannya tidak bisa terfokus pada isi buku itu. Malah memikirkan seorang siswa di kelas yang sangat-sangat menyebalkan.

"Ya udah, jangan teriak-teriak nggak jelas, juga. Dikira tetangga apa nanti." Mama menutup pintu dengan pelan. "Oh, ya, makan dulu kalo laper." Suara di luar pintu itu membuat Hanna mengembangkan senyum asli, bukan palsu seperti tadi.

"Iya, Ma! Emang Hanna lapeerrr!"

*****

"Hanna, kemarin siapa, sih? Kok bilang-bilang suka kamu? Kalian emang kenal deket? Kamu kok, nggak pernah cerita sama Mama kalo punya pacar ganteng gitu."

"Ih, Mama apaan, sih?!" sungut Hanna, keki. "Hanna nggak pacaran, tau! Kan, Mama-Papa sendiri yang ngelarang. Lagian, Hanna di sekolah itu maunya fokus cari ilmu, bukan cari jodoh." Hanna berkata dengan sebal.

"Iya-iya. Emang nggak boleh. Kan, kata Papamu, kalo mau serius, harus bilang dulu. Nah, cowok kemarin bilang kalo suka kamu."

"Ih, Mama ...." Hanna merengek. Niatnya makan karena ingin melupakan masalah ini sejenak, malah mendapatkan hal yang lebih dari Mamanya. "Hanna nggak mau bahas dia!"

"Namanya siapa kemarin?"

"Enggak tau!"

"Lah, ditanya orangtua, kok. Nggak baik, tau, bohong."

Hanna menggeretakkan gigi. "Yohan! Nggak tau siapa lengkapnya."

Sebenarnya, itu lah sifat dan sikap asli Hanna. Ia adalah gadis yang cerewet dan mudah marah saat di rumah. Hanya saja, saat di kelas, seolah karakternya berubah menjadi sosok misterius dan pendiam. Tak banyak bicara dan cenderung cuek pada banyak teman.

Gadis itu ... hanya tak mau, jika sudah berteman, namun terkhianati, seperti teman-teman zaman sekarang, yang kebanyakan datang saat sasa butuhnya saja, lalu menghilang saat sudah bahagia.

Hanna sadar, ia memang belum tentu bisa membantu saat temannya kesusahan. Jadi, daripada ia mengecewakan, lebih baik ia memiliki sedikit teman yang mengerti dengannya. Sedikit tak masalah, asalkan itu bukan teman palsu.

"Minggu nanti kamu ikut kajian di Masjid depan nggak?"

"Ada, Ma?"

"Ada. Tadi Mama dapet undangan. Yang ngisi itu loh, anak muda lulusan pesantren yang pernah ikut lomba di TV itu. Yang ganteng itu, meskipun nggak menang, sih."

Raut wajah Hanna berbinar. "Beneran, Ma? Kak Hamzah?"

"Naahh, iya, Hamzah. Ikut nggak? Mama tungguin kalo mau ikut. Habis Ashar dimulai."

"Mauuu!"

*****


03.37 17/03/2019

ShafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang