[17] Sama Menyebalkan

1.9K 247 5
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Jika Ahkam pernah bertanya karena was-was kepada Yohan; "Lo nggak takut sama orangtua? Mereka agamanya bagus, loh. Masa' sebagai anak mau----"

"Gue udah gede, Kam. Agama bukan warisan. Gue berhak pilih tujuan hidup sendiri."

Maka, Dipta adalah kebalikannya. Pemuda itu tak banyak bertanya sebab bersemangat memberikan yang terbaik. Dan salah satu dari yang terbaik itu adalah, saat ia terpikirkan sepupunya, Hanna.

"Bentar, ya, gue ke belakang dulu," izin Dipta seraya mengenggam ponselnya.

Yohan mengangguk, menunggu Dipta keluar kamar sedang ia sendiri berbaring di atas sofa. Memandangi langit-langit kamar temannya yang bernuansa abu-abu tua, Yohan berpikir: bagaimana reaksi keluarganya saat tahu ia berpaling dari agamanya yang sekarang?

*****

Dipta duduk di kursi dapur setelah mengambil sekotak minuman dingin dari kulkas. Mencari sebuah nama sampai ketemu, Dipta memencet tombol video call via Whatsapp. Saat diterima, Dipta sudah bisa menebak bahwa yang disuguhkan Hanna adalah pemandangan buku berserakan di dalam kamarnya.

Tak ada wajah, memang. Tapi, Dipta suka melihat isi kamar Hanna yang terdapat sebuah boneka kelinci berukuran sedang.

Dipta teringat teman Hanna yang bernama Nina. Boneka kelinci itu ia beli sejumlah dua; satu untuk Hanna, dan satu untuk Nina. Dan ya, Hanna yang ia minta tolong untuk memberikannya kepada Nina dengan dalih selamat ulang tahun. Beruntungnya, Nina menerima---setengah dipaksa.

"Han, nganggur nggak?" tanya Dipta mengawali pembicaraan.

"Enggak."

"Kena----"

"Sibuk."

"Sibuk apaan? Palingan sibuk ngayal buat nulis, 'kan?"

"Nah, itu tau."

Dipta berdecak. "Kalo gue ajak ke rumah, mau----"

"No, no, no. Kalo aku, sih, no."

Dipta jadi teringat perkataan Yohan tadi. Apakah itu pertanda kalau mereka berdua----

"Udah, 'kan? Aku tutup, yaaa."

"Heh, belum!" cegah Dipta setengah kesal. Diteguknya minuman di tangannya hingga tersisa setengah. "Lo nggak ngapa-ngapain, 'kan? Cuma tiduran, 'kan?"

"Sibuk, Dipta. Lagian juga mau ngapain? Nemenin kamu nonton TV?"

"Lebih penting dari itu."

"Emangnya nonton TV itu penting?"

"Penting, lah! TV itu bisa menjadi media edukasi, sebagai hiburan agar nggak stres, nggak ketinggalan berbagai informasi----"

"Ya, ya, ya."

Dipta mendengar tawa kecil Hanna, lantas berkata setengah mengejek, "Bisa ketawa juga, lo."

Hanna terdiam. "Apaan, emang?"

"Hah?"

"Mau ngapain aku di situ?"

"Sesuatu yang kalau lo berhasil, pahala besar menanti."

"Apaan, sih, yang jelas!"

"Gue jemput, ya?"

"Yee."

*****

Kalau saja tahu akan seperti ini, harusnya menolak jemputan Dipta adalah pilihan terbaik. Sayangnya, takdir mengantarkan Hanna yang anti-Yohan itu selalu bertemu setiap harinya. Bahkan, saat hari Minggu seperti ini sekalipun.

Dipta sialan telah minta bantuan mengenalkan Islam pada Yohan sementara gadis itu bukan tipe gadis yang banyak bicara.

"Jadi, mau belajar yang ... mana?" tanya Dipta yang membatasi tempat duduk antara Yohan dan Hanna.

"Dasarnya dulu," jawab Yohan ragu-ragu.

"Lo beneran tertarik sama Islam, 'kan, Han?" tanya Dipta skeptis. "Bukan karena ...." Pemuda itu melirik sepupu yang duduk di sebelah kirinya. ".... Hanna, 'kan?"

Yohan menggeleng cepat. "Gue cuma kepikiran sama pertanyaan Ahkam kemarin-kemarin."

Dipta yang mengetahui maksud Yohan langsung menenangkan. "Kalo masih ragu, lo pikir-pikir dulu. Emang nggak gampang kalau ada perbedaan sama keluarga, tuh. Apalagi ini perihal kepercayaan yang mana lo mau milih tujuan hidup lo sendiri dengan mengenal Islam lebih dulu."

Yohan terdiam, mendengarkan pernyataan Dipta. Tapi, alih-alih melanjutkan, justru suara Hanna yang terdengar. "Itu bukannya nakut-nakutin, kok. Cuma mastiin kamu yakin sama pilihan kamu apa enggak. Sekarang, kalau mau lanjut, ya ayo."

Yohan dan Dipta tersenyum saat mendengar penuturan singkat Hanna. Tapi, dengan sekejap gadis itu melunturkan senyum di wajah kedua pemuda di depannya saat melanjutkan, "Tapi, kalau masih butuh waktu, berarti aku boleh pulang. Oke, dulua----"

"Hanna!" seru Dipta kesal.

Hanna memasang raut datar dan kembali duduk. Sejenak melirik ke arah kakak perempuannya Dipta yang tengah tertawa menyaksikan perseteruan mereka berdua. Ya, Yohan, 'kan, juga menyaksikan sedari tadi.

"Pukul aja itu, Han. Ngeselin soalnya," ujar Kak Alisa.

"Aku masih sayang tangan, Kak," sahut Hanna lirih.

Seperkian detik ruangan diisi keheningan, Yohan berdeham. "Dasarnya apa?"

"Ilmu ... tauhid?" Dipta balik bertanya, yang dijawab Yohan dengan kerutan di kening. "Maksudnya, nggak urut nggak papa, 'kan?"

"Enggak papa, kok." Yohan mengangguk. "Itu ilmu apaan?"

"Konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah," sahut Hanna setelah mengutip kalimat dari Wikipedia. Sejak beberapa menit lalu, ia sibuk membuka ponsel untuk mencari pengertian singkat dan jelas agar Yohan mudah paham.

"Apaan?" Yohan bertanya ulang.

"Hanna, kalo ngomong hadap lawan bicara, kek," keluh Dipta saat mendapati Hanna menunduk menghadap layar ponselnya. "Udah tau, 'kan, gimana ngobrol yang baik dan benar?

"Ya, maaf. Aku, 'kan, cuma ngehindarin tatap mata. Lagian juga baca di sini. Seenggaknya yang aku bilang itu ada sumbernya," bela Hanna.

"Enggak papa, kok, Dip."

Hanna baru saja bersyukur ketika Yohan kembali melanjutkan, "Lagian, dia, 'kan, antisipasi supaya nggak keterusan memandang ketampanan seorang Yohan."

Hanna menghela napas beratnya.

Dasar PD overload.

*****

A/N:


Teman-teman, sahabat, saudara-saudariku sebangsan dan setanah air tumpah darah, TERIMA KASIH 10K VIEWS-NYAAA! UDAH LEBIH MALAH, 10,3K. HEHEHE.

Kamis, 04 Juli 2019
21:18

ShafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang