[18] Ibu dan Anaknya

2.3K 251 49
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Hanna membuka matanya setelah alarm ponsel yang disetel 3 menit yang lalu itu berdering. Waktu menunjukkan pukul 6 lebih 3 menit a.m., dan ia sudah siap berangkat sekolah sebab sudah mempersiapkan segalanya kemarin malam. Gadis itu mengembuskan napas berat, seberat keadaan seminggu yang telah berlalu.

Langkahnya sampai di dapur, tempat Mama duduk sembari meminum setengah gelas teh hangat sebelum memulai kegiatan pagi. Hanna mengangkat tangan, menyalami sang Ibu dengan senyum tipis.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," Mama menjawab sembari menahan tangan anaknya agar tak buru-buru berangkat kendati jam enam adalah waktu wajar Hanna untuk berangkat sekolah sejak SMP.

Merasa ditahan seolah ada hal penting yang perlu dibicarakan, Hanna menatap Ibunya seraya bertanya, "Kenapa, Ma?"

"Kamu yang kenapa?" tanya Mama balik. Wajah lesu meski sudah sarapan beberapa menit lalu, tampak tak segar meski wanita itu yakin, anaknya, 'kan, sudah mandi.

Hanna menggeleng, tersenyum lagi dan berkata, "Banyak tugas, Ma."

Mama percaya, tapi tak sepenuhnya. Ada yang disembunyikan anaknya. Rasanya, dari sekian banyak pemikiran yang lewat, ada satu yang benar. Maka, untuk memastikan itu, wanita itu menyuruh anaknya duduk di kursi yang terletak tepat di sampingnya.

"Masih mikirin dia?" tanyanya tanpa menyebut nama.

Namun, Hanna tahu siapa yang dimaksud. Ia mungkin jarang cerita, jarang mengekspos kehidupan remaja layaknya remaja lainnya, juga jarang banyak memainkan sosial media kecuali untuk riset materi cerita, menonton video agama, ataupun beberapa hal bermanfaat lainnya.

Hanna benar-benar menjaga hatinya dari dunia meski sebenarnya ia tahu, hal itu yang membuatnya sedikit memiliki teman.

Tak apa. Setidaknya, ketika memiliki teman, itu benar-benar sesuai kriteria.

Hanna menggigit bibir bawah, bingung mau menjawab apa terhadap pertanyaan Mama. Tapi, kalau pun tidak dijawab iya, kebohongan pasti senang selalu mengintai dan menguntai hidupnya. Jadi, ia hanya bisa menjawab singkat, "Sedikit."

Mama menghela napas, tak melepas tangan anaknya, lalu berkata lembut, "Hanna, dia ingin seperti kita. Itu keinginannya. Dan itu ada risikonya. Zaman jahiliyah saja harus rela disiksa banyak kafir. Sekarang, setidaknya dia cuma dilarang berteman sama kalian tanpa diberi hukuman lain selain pukulan," jelas Mama sembari mengelus kepala Hanna.

"Dia ... kasihan," ucap Hanna lirih. Kepalanya menunduk. "Dilarang."

Sang Ibu mencubit sejenak pipi bulat anaknya. "Hanna, coba jawab Mama. Tingkat keimanan seseorang itu, ditesnya pakai cara apa?"

"Diuji," jawab Hanna sembari memilin ujung jilbab berwarna putih itu. "Tapi, dia belum kayak kita."

"Mama nggak ngomongin dia."

Hanna mendongak, menatap sang Ibu dengan kening mengernyit. Dapat gadis itu lihat, kulit wajah itu semakin hari semakin mengerut termakan usia. Hanna jadi berpikir, apa kesuksesannya masih lama? Ia ingin membahagiakan orangtuanya sekarang juga, bukan esok lagi ataupun lusa.

Sekarang dan seterusnya.

"Jadi?" Hanna bertanya setelah tangannya terhenti.

"Mama ngomongin kamu."

Gadis itu menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"

"Kamu mau bantuin dia, 'kan?" Mama kembali bertanya balik.

"Dia belum direstuin keluarganya. Orangtuanya menentang keras. Sebab apa? Katanya, mereka penganut agama yang alim dan akan malu kalau sampai anaknya berpindah ke kepercayaan lain. Dipta cerita gitu waktu kamu diam aja di kamar seminggu lalu," jelas sang ibu.

Hanna terdiam, mendengarkan dengan pandangan kosong sebab memfokuskan pikiran.

"Dan kamu, mungkin Allah merestui kamu membantu dia. Tapi, semua ada masanya. Ada masa di mana dia diberi rintangan dulu. Dan itu sekarang."

"Cepat banget, ya, Ma?" celetuk Hanna sembari tertawa kecil.

Mama tersenyum tipis. "Mungkin dia nggak persiapan apa-apa. Mungkin dia terlalu penasaran sampai nggak mikir kelakuannya itu bahaya apa nggak."

"Bahaya?"

"Maksudnya, Yohan belum sempat mikir gimana kalau nanti keluarganya datang ke rumah Dipta sekalipun cuma berkunjung. Dan apa takdirnya? Mereka tahu anaknya udah ada ketertatikan pada kepercayaan kita. Jelas mereka marah, karena sejak kecil, Yohan mungkin dididik buat percaya penuh pada keyakinannya. Ya kayak kita gitu, tapi beda yang dipercayai."

"Aku bersyukur, Ma, udah kenal Islam sejak dilahirkan."

"Iya, dong. Harus. Mama juga bersyukur karena lahir di lingkungan Islam. Sekarang, yang harus kamu lakuin itu, doain dia. Jangan cuma sedih aja. Oke?"

"Insyaallah, Ma."

*****

A/N:

Nama Ibunya Hanna siapa? Aku lupa.
ㅋㅋㅋ

Gak bisa janji apa-apa. Update suka-suka.

[Fast Up= vote + comment]

20:57
Rabu, 7.8.19

ShafWhere stories live. Discover now