[19] Belum Selesai

2.1K 217 12
                                    

sebelum & sesudah membaca,
silakan berdoa

*****

"Han," sapa seseorang yang sontak membuat Hanna menghentikan langkah. Sejenak, gadis itu melirik jam yang melingkar di tangan kanan. Waktu menunjukkan pukul 06.35. Kemungkinan, keadaan kelas masih sepi.

Jadi, daripada berlama-lama menunggu kesepian kelas, Hanna menjawab sapaan sepupunya yang tak biasanya berangkat sepagi ini. "Kenapa?"

"Kita nggak bisa kayak gini terus," ujar Dipta membuka topik.

Hanna menggigit bibir bawah sesaat, lalu memilih duduk di depan kelas. "Ya terus?"

"Lo nggak kasihan apa sama Yohan?" tanya Dipta sarkastik. "Dia udah ada minat sama agama kita. Cuma gara-gara dilarang orangtuanya, bukan berarti kita nyerah, dong?"

"Ya ...." Hanna mengangguk. "Tapi, Dip, kita nggak dosa kalo dia nggak masuk agama kita."

Dipta ikut duduk, dengan jarak sekitar dua meter di samping kanan Hanna. Pemuda itu menaruh tasnya di depan, seakan tengah menutupi sesuatu di bagian tubuh depannya. Padahal, sedang memakai jaket berwarna abu-abu tua. Setidaknya itu yang ada di pikiran Hanna kendati gadis itu tak mau bertanya lebih jauh.

Memulai saja tidak.

"Lo nggak lihat gimana tertariknya dia?" tanya Dipta lagi.

"Ya ... gimananya?"

"Dia itu pasti semangat kalo lo ambil bagian di sini."

"Maksudnya?" Hanna mengernyit. "Dia pengen pindah agama karena ... aku? Iya? Gitu?" Gadis itu terkekeh. "Enggak, deh. Kamu aja yang nanganin kalo kayak gitu."

"Dia nggak balas marah waktu ditampar ayahnya."

Hanna bergumam. Memori kejadian seminggu lalu kembali terputar bak puzzle yang menemukan pasangannya. Hanna tersenyum tipis, tak menyangka keinginan Yohan yang baru saja dimulai akan semenyakitkan itu karena langsung diketahui oleh kedua orangtuanya yang mendadak berkunjung ke rumah Dipta.

"Dip, ingat kisah Nabi di surat Abasa, nggak?"

"Bukan gitu, Han," Dipta menyanggah perkataan Hanna yang tetap konsisten dengan bahasan mereka sendiri-sendiri.

Menghela napas dengan hasil uap putih tipis membumbung di udara pagi ini, Dipta melanjutkan, "Dia pasti semangat kalo ada lo di sampingnya."

"Apaan, sih?" Hanna bangkit, berjalan pelan memasuki kelas sebelum dua iris hitamnya menemui sosok yang sedari tadi ia dan sepupunya bicarakan tengah berjalan santai dari ujung koridor.

Tanpa memandang Dipta, gadis pemakai sweater hijau toska itu berujar lirih, "Aku nggak mau kalo kayak gitu beneran."

*****

Pikiran Hanna melanglang buana. Pulpen yang sedari tadi berputar di tangan itu akhirnya jatuh juga kala tas seorang siswa menyenggolnya. Hanna terkesiap, sedikit membungkuk untuk mengambil pulpen di dekat kaki kursi tanpa memperhatikan siswa itu.

Meski ia tahu persis, siapa yang kini berhadapan dengannya.

Seminggu tak bicara. Seminggu seolah tak ada yang saling mengenal. Semuanya---Hanna, Yohan, Dipta, Ahkam---sama-sama canggung. Bahkan, Nina pun ikut-ikutan. Semuanya ingin memulai, tapi tak tahu caranya. Maka, saat dengan lirihnya Yohan menyapa; kurang lebih begitu namanya, Hanna menegang.

"Hanna," sapa Yohan kedua kalinya.

Hanna mengusap wajahnya lemah. "Apa?"

Dan seketika tubuhnya kembali melemah saat Yohan berbalik, menarik kursi entah dari mana dan mendudukinya tepat di hadapan Hanna. Pemuda itu mengembuskan napasnya pelan kala Hanna berusaha menetralkan raut wajah. Yohan menyingkap rambut setengah basahnya ke belakang, membiarkan beberapa anak yang tengah memandanginya kini meneguk ludah.

Well, bisa diingat-ingat, ketampananan anak itu tidak main-main.

"Maaf," ujarnya lirih.

Hanna terdiam menanggapi hal itu.

Untuk apa meminta maaf?

Bukankah harusnya dirinya?

"Kamu nggak salah," balasnya sembari mempersiapkan buku pelajaran pertama; terkesan tak niat melayani pembicaraan Yohan. Faktanya, ia ingin, tapi bukan sekarang.

Mungkin nanti. Saat semuanya berkumpul.

"Udah seminggu nggak belajar bahasa Inggris. Nanti ... jadwal normalnya, kan?" tanya Yohan mengingatkan.

Hanna mengangguk. "Di mana?"

"Di kafe pelajar aja. Nanti aku minta Dipta sama Ahkam dateng, kok."

"Aku ajak Aina, boleh, kan?"

"Ya boleh, lah."

Hanna menarik sedikit ujung bibirnya ke atas. Begitu juga dengan Yohan. Tak ada pembicaraan lebih kendati seminggu terakhir tak ada setitik konversasi penting selain jika mereka mengerjakan tugas bersama atau presentasi di depan kelas.

Semoga saja mereka nanti mendapat titik terang.

*****

A/N: IYA, LAGI MAIN-MAIN.

Balik lagi ke masa-masa awal buat IF ini ... haha, short. Yang penting aku rajin update ye kaaannn 👋🏻👋🏻👋🏻

Lagi butuh komen selain kata "next" atau "lanjutkan". Koreksi guys kalo ada salah. Nggak ada banyak editan ini tadi.

18:05. Jumat, 9.8.19

ShafOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz