#51

7.3K 626 86
                                    

Yama POV

Sorot jingga mulai jatuh di ujung barat Indonesia, satu dua burung juga sudah mulai kembali ke sarangnya. Menyenangkan menjadi seekor burung, dia tak perlu LDR dalam waktu yang lama, dia tidak perlu lah itu meninggalkan istri berbulan-bulan. Kapanpun dia mau pulang, kapanpun dia butuh pelukan, tinggal terbang tanpa meminta bantuan. Sementara manusia yang diberi kelebihan akal dan kecerdasan, dia belum mampu memecahkan jarak yang membentang. Allah SWT sungguh adil pada hamba-Nya.

Aku masih memutar-mutar ponsel, seperti gasing yang dimasa kecil begitu membahagiakan. Masih gelisah tanpa kabar dari yang terpisah.

"Galau aja, Ma?"

Bang Rizky Pora, dia baru saja datang dan membawa sebotol air putih usai berlari keliling mess.

"Calon Ayah juga," sambil meneguk air mineralnya.

Menghela napas panjang. "Nggak semudah itu jadi calon Ayah, Bang. Apalagi kalau harus terpisah sejauh ini. Khawatir aja sama istri sama calon anak. Apa mereka bisa kuat?"

"Kalau itu memang rezekimu, dia akan kuat sampai dia bisa memanggilmu Ayah. Jangan khawatir meski dijauh. Allah memang menciptakan jarak tapi Dia tetap memberikan kesempatan untuk saling memeluk, namanya doa. Nikmati saja, jangan hanya dipikirkan."

Aku tersenyum. Masalahnya kadang memang tak serumit itu. Dalam setiap doa yang aku panjatkan, tak lupa nama Nissa di sana. Itu sejak kami memutuskan menikah, nama itu tak pernah hilang dari bait-bait puisi tengah malam.

"Ya gitulah, orang pikir yang berat itu mendampingi tentara atau polisi saja kah? Mendampingi atlet macam kita ini bisa tiap hari makan hati. Jauh dari keluarga, cacian, belum lagi cedera. Berat lah, Ma. Siapapun perempuan yang bersama kita harus kuat."

Tersenyum lagi.

Ini memang sore hari yang tepat untuk mengeluarkan petuah andalan dari Bang Rizky Rizaldi Pora, walaupun kadang suka agak nyeleneh nasehatnya, kadang juga ada benarnya. Kubiarkan saja, toh dia sebenarnya tak begitu paham masalahku. Sedikit aku sembunyikan, biar hanya aku, Nissa, dan Gavin yang tahu.

"Telepon dia sesering mungkin."

Itulah masalahnya. Bagaimana mau menelpon kalau sampai sore begini belum juga aktif ponsel Nissa?

"Sudah tadi, Bang."

Tersenyum getir, tak seindah senja di Banjarmasin.

"Laga sama PSIS kapan ya, Bang?"

"Nggak tahu."

"Kenapa?"

"Kalau udah ada jadwal pasti, mau mampir ke Solo. Jenguk istri. Sehari atau setengah hari juga nggak masalah."

Bang Rizky hanya mengangkat kedua alisnya.

Matahari benar-benar jatuh dan senja telah berganti, Nissa masih saja belum mengaktifkan ponselnya. Semua pesan yang aku kirim belum ada satupun yang benar-benar telah sampai padanya. Mungkin saja masih mengambang di laut Jawa.

Menyelesaikan kewajiban pada yang Maha Kuasa, memohon agar selalu ditentramkan baik hatiku maupun hati Nissa, dikuatkan pula calon buah hatiku dalam kandungan Nissa.

Kembali mengambil ponsel di sisi tempat tidur, duduk masih dengan sarung dan peci. Masih belum ada balasan dari Nissa, sama sekali. Jadi aku coba menghubunginya lagi, tetap saja masih dalam keadaan tidak aktif. Sekali lagi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.

Kling...

Ponselku berdering, bukan dari Nissa, tapi dari Kak Fatim.

"Istrimu nggak mau makan ini. Cobalah bicara dikit sama dia," kata Kak Fatim setelah aku bertanya tentang bagaimana Nissa.

Kapten Yamaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن