#83

6.3K 535 36
                                    

Yama POV

Setelah hari yang sangat melelahkan karena harus mengurus aqiqah dan syukuran, menjamu banyak tamu dan melakukan pemotongan rambut kedua putraku, sekarang waktunya kami beristirahat. Bang Zahran dan Dik Zhafran yang kelelahan pun sudah tertidur pulas di satu kotak kayu di samping tempat tidur kami. Nissa belum mau menempatkan mereka di kamar mereka sendiri padahal sudah dihias sedemikian rumah oleh Kakek Neneknya. Belum waktunya mereka pisah dari kami memang.

Kupandangi Nissa yang lambat laun menutup kedua matanya, sesekali membuka lalu tersenyum padaku. Dia pasti sudah mengantuk, sementara aku masih saja terjaga memandanginya. Dia selalu berusaha tidak tidur sebelum aku tertidur, padahal dia lebih mudah tidur daripada aku.

"Nanti ngrawat anaknya gimana, Yah? Susah ternyata kalau nangis bareng, harus ada satu yang seolah dikorbankan sementara waktu," katanya dengan mata tertutup dan suara yang parau.

Aku mengusap kepalanya, mungkin dia mengigau. Aku sendiri pun masih memikirkan itu tapi namanya kasih sayang kepada anak tidak pernah berbeda, pasti bisa melakukannya dengan adil.

Nissa membuka matanya. "Tadi Ibu nawarin Mbak Siti dibawa ke sini, tapi kan Bunda harus bicara dulu sama Ayah. Bunda juga belum tahu nanti gimana cara gajinya, kira-kira cukup enggak gaji Ayah. Kalau misal nggak cukup ya, Nissa bisa lah jadi guru honorer, buka les juga di rumah. Tapi ya tetap saja yang ambil keputusan akhir itu kepala keluarga."

Aku memandang Nissa.

"Kamu kalau mau buka les atau ngajar setelah anak-anak sudah besar saja. Sekarang fokus dulu sama anak-anak. Urusan tenaga tambahan, em, nanti Ayah pikirkan dulu. Ayah harus perkirakan gaji dan kemampuan klub juga ya, habis kalau klub naik turun, gaji juga susah."

Nissa tersenyum, mengangguk. "Bunda juga bisa belajar kok, kalau seorang Ibu tidak mampu mengendalikan anak kembarnya bersamaan, Allah pasti tidak menciptakan anak kembar."

"Ayah pasti bantu, Sayang."

Nissa tersenyum lagi lalu tertidur.

Aku pun mengikutinya tidur, sambil mendekap tubuhnya yang tidak lagi terhalang perut buncit.

Dalam lelapku aku bermimpi kedua anakku menangis, suaranya jelas sekali, rengekannya yang begitu keras bahkan membuatnya semakin nyata.

"Yah, tolong Zhafran dulu, Yah," suara dan goncangan di tubuhku itu terasa nyata. "Yah, tolong, Yah."

Mulai kupaksa mataku sebab semuanya begitu nyata, bukan lagi suara-suara dalam mimpi. Saat itu kudapati Nissa tengah menyusui Zhafran sambil membangunkanku, begitu aku membuka mata dia langsung menuju almari kecil di pojok ruangan.

"Kenapa, Bunda?" Dengan nyawa yang setengah-setengah.

"Tolong Dik Zhafran dulu, ngompol itu," ucapnya mengambil popok, kain alas, juga selimut baru.

Aku langsung bangkit dan secara sempurna melihat Zhafran menangis begitu keras. Dia itu kalau nangis ternyata lebih keras dari Zahran, esok pasti dia akan menjadi orang paling berisik di lapangan. 

Biasanya setiap malam aku hanya terbangun dan menemani Nissa mengganti popok atau sekdar menyusui, sekarang karena ini hari pertama mulai benar-benar mengurus dua anak, jadi aku harus ikut membantu, bukan lagi melihat atau menemani.

"Ini," memberikan popok dan kain alasnya. "Coba angkat dulu Adiknya, Yah." Menunjukkan padaku bagaimana caranya.

Aku mengangkat Zharfan dengan sangat hati-hati, tubuhnya mungil sekali dan rentan. Mengangkatnya tanpa menempelkan ke tubuhku, najis semua jadinya kalau sampai terkena ompol. Mumpung tengah malam jadi bisa sholat tahajud tanpa harus mandi dulu, lumayan lah dapat pahala lagi.

Kapten YamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang