#59

7.1K 634 88
                                    

Yama POV

Setetes air jatuh ke pipiku, membangunkan tidur di tengah malam.  Saat kubuka mata, Nissa dalam posisi duduk dengan kaki lurus tengah mengusap kepalaku sembari menangis.

"Niss," panggilku mengangkat kepala masih dengan mata yang tidak begitu sempurna.

Matanya masih bengkak semacam itu dan dia masih saja menangis. Kuhapus air matanya.

"Maafin Nissa, Mas. Nissa nggak nurut apa kata Mas Yama, Nissa nggak pernah izin sama Mas Yama, Nissa minta maaf, Mas."

Tiba-tiba saja dia turun dari tempat tidurnya dan bersimpuh di samping kiriku semacam orang memohon pengampunan, dia menangis begitu sesak, bahkan sampai lupa kalau selang infus juga perlu dijaga.

"Eh, Mas pulang buat jagain Nissa, bukan untuk semacam ini," kataku mengangkat tubuhnya sambil membenarkan posisi selang infus yang melingkar, lantas aku menariknya ke dalam pelukan yang sangat erat.

Aku merindukannya, sangat merindukannya meski aku begitu marah atas semua yang dia lakukan. Tepatnya kecewa mungkin, dia seperti tak menganggapku ada, semua nasehatku tidak dia dengar, lebih penting gelarnya daripada kesehatan anak kami, itu fatal sekali. Tapi dalam kondisi semacam ini aku tidak boleh menyalahkan Nissa. Aku tidak bisa membuat pikirannya semakin berat, aku tidak ingin calon anakku kenapa-kenapa lagi.

"Tapi Nissa nggak nurut apa kata Mas Yama, Nissa nggak pernah izin apa-apa sama Mas Yama, Nissa bohong sama Mas Yama."

Dia masih merasa bersalah, menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. Aku ingin dia menyesali perbuatannya, tapi aku lebih ingin dia tidak mengulanginya lagi. Aku juga ingin dia menjadi Nissa yang pertama kali aku kenal, begitu mandiri, penyabar, lebih bisa menjaga diri, lebih berpikir luas, tapi mau bagaimana lagi, orang hamil itu suka menjadi orang lain atau bahkan menunjukkan jati dirinya yang asli, itu kata Ibu.

"Nissa berulang kali jadi istri yang buruk buat Mas Yama. Nissa yang tadinya selalu ngeluh sama sikap Mas Yama, sekarang justru menjadi istri yang lebih buruk dari semua sikap dingin Mas Yama waktu itu. Nissa..."

Aku tetap diam, melepaskan pelukan, mengusap air matanya.

"Nissa bukan istri yang baik, maafin Nissa, Mas. Nissa..."

Dia masih saja berbicara, menyalahkan dirinya sendiri sampai dia hampir tercekat oleh tangisnya. Hanya satu yang bisa menghentikannya, sesuatu yang sudah beberapa Minggu tidak aku lakukan padanya.

Cup!

Kecupanku cukup lama, meski tidak seperti saat terakhir kali aku menciumnya. Nissa diam saja, itu bedanya dan dia menangis sekarang. Aku tak ingin melepaskannya sebelum dia menjadi lebih tenang. Lebih menyakitkan lagi melihatnya menangis.

"Udah dapat ciuman juga masih nangis," kataku saat bibirku tak lagi ada di bibirnya.

Aku mengambil posisi jongkok di depan Nissa. Tepat di perutnya, tempat dimana calon anakku tengah tumbuh. Kuusap perutnya dengan tangan yang sebenarnya bergetar, ini pertama kalinya aku mengusap perut Nissa yang tengah mengandung. Atas dasar perjodohan dan segala macamnya, aku tak menyangka akan hadir janin dalam perutnya karena perbuatanku. Ketika menikah, aku membayangkan butuh waktu yang lama, ternyata sebentar saja Nissa bisa membuatku jatuh cinta.

"Assalamualaikum, Dek. Ini Ayah, pertama kalinya usap kamu dalam perut Bunda. Maaf ya Ayah nggak banyak waktu buat kontrol aktivitas Bunda. Capek ya nemenin Bunda lembur, nemenin Bunda berjibaku dengan buku."

Benar-benar tidak ingin menyalahkan Nissa kali ini meski dia salah. Yang lebih tepat memang aku yang salah, seharusnya tidak membiarkannya hamil sebelum kuliahnya selesai, harusnya aku bisa lebih mengingatkan lagi tentang aktivitasnya saat hamil, tapi aku tak melakukan itu dengan maksimal. Kesalahanku cukup banyak.

Kapten YamaWhere stories live. Discover now