#80

7K 576 85
                                    

"Oe oe," suara tangis itu seringkali memecah keheningan malam di Banjarmasin, setidaknya dua hari ini.

Itu suara Zahran, anak pertamaku yang artinya berkilauan. Dua hari ini dia selalu membangunkanku di tengah malam, sekedar kelaparan atau sekedar hanya ingin mendapat pelukanku. Dia lucu sekali, mirip dengan Ayahnya, tapi hidung mungil mirip denganku. Sementara Zhafran yang masih di dalam inkubator itu bentuk hidungnya lebih mirip Mas Yama, wajahnya, mungkin bagianku adalah mata. Ibu, Ayah dan mertuaku juga setuju soal itu, soal kedua anakku lebih mirip Ayahnya.

Iya, kedua Ayah dan Ibuku masih di Banjarmasin, masih menginap di rumahku, sementara aku masih di rumah sakit. Tadi pagi sampai sore Ibu mengunjungiku sementara Ayah katanya cari tempat catering di Banjarmasin. Mas Yama juga sempat meninggalkan kami cukup lama untuk mengurus kambing aqiqah.

Ini semua orang tuaku ada di sini, masih ada yang membantu, tidak terbayangkan juga kalau tanpa mereka bisa menyusul, pasti aku sendirian ketika Mas Yama harus ke sana kemari mengurus aqiqah juga berkas kependudukan.

Tengah malam ini, seperti malam pertama kemarin, aku lihat Mas Yama menahan kantuknya demi menemaniku. Selalu saja duduk di sofa yang sengaja dia tarik mendekati tempat tidurku dan kotak kecil tempat tidur Zahran. Matanya sesekali tertutup, sesekali terbuka, tangannya menopang dagu agar tidak terjatuh, sesekali bangkit dan mengusap wajah Zahran yang tengah menyusu padaku. Dia lelah, dua hari ini setiap kali bumi terang, dia harus kesana kemari tapi di malam hari dia tetap mau terbangun ketika Zahran menangis.

Terkadang aku terharu, sampai mengeluarkan air mata karena punya suami yang mau berjuang bersama-sama, suami yang mau mengerti, suami yang tanpa lelah bersamaku. Awalnya sedikit kaget di tengah malam harus bangun, butuh waktu cukup lama untuk menenangkan Zahran yang menangis, sudah begitu harus kena ompol Zahran, tapi karena Mas Yama tidak pernah merasa lelah menemaniku, aku ingin lebih kuat lagi untuknya dan anak-anak. 

"Tidur deh, Yah. Sebentar lagi subuh, atlet itu nggak baik kalau kurang tidur," seruku tidak tega melihatnya merem melek menahan kantuknya.

"Nggak apa-apa, Sayang," katanya membuka mata dan tersenyum.

Sambil menyusui Zahran, aku usap kepala Mas Yama. "Yah, lusa liga sudah mulai, nanti Ayah sudah mulai latihan, manfaatkan waktu istirahat sebaik mungkin."

"Iya gampanglah itu."

"Tidur," kataku memaksa dengan lembut. "Zahran sudah tenang, dia hanya lapar, jadi Ayah bisa tidur lagi. Nanti subuh Bunda bangunkan."

Mas Yama menatapku begitu dalam, mengunci pada satu titik fokus yang memabukkan. Dia selalu begitu, sejak kami saling jatuh cinta di waktu yang halal.

"Suka dengan panggilannya," katanya.

Begitulah suamiku, diperintah apa fokusnya di kalimat yang apa. Bukannya langsung menurut saja.

"Sudah ah, tidur gih. Bunda di sini itu harus rawat tiga orang, kalau satu aja nggak nurut, bisa tambah pusing."

Mas Yama hanya tersenyum. 

"Ayolah, Yah!"

Sekali lagi tersenyum lantas berbaring lagi di atas sofa. Menjadi pemandangan indah melihatnya terlelap semacam itu, sudah berapa lama tidak melihatnya berbaring dan terlelap di sampingku. Butuh waktu yang lama untuk sekitar lima hari ini bisa menikmati pemandangan lelapnya Mas Yama di sebelahku.

Perut Zahran sudah cukup terisi, dia juga mengikuti jejak Ayahnya kembali tertidur pulas dengan bibir mungil yang sesekali bergerak-gerak.

Selanjutnya aku ikut tidur bersama mereka, aku harus pandai memanfaatkan waktu sekarang ini. Di usia 22 tahun sudah menjadi seorang Ibu, padahal kalau ditanya masih ingin menikmati masa pacaran usai menikah bersama dengan Mas Yama. Masih ingin jalan-jalan, masih ingin pergi ke stadion manapun saat Mas Yama bermain. Sayangnya malam itu aku tidak bisa menolak keinginan suamiku, dan beginilah sekarang, aku punya dua malaikat kecil juga satu malaikat besar tanpa sayapnya.

Kapten YamaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt