28. Sahabat?

647 50 6
                                    

Mey turun dari mobil Pak Bim, disusul dengan Pak Bim. Ia sudah berjanji akan mengantar Mey, meski Mey bersikeras tidak ingin diantar tetap saja Pak Bim yang akan menjadi pemenangnya. Mey akan menuruti kemauan Pak Bim jika memang itu hanya hal sederhana seperti ini.

"Belajar yang rajin." Ucap Pak Bim.

Mey menganggukan kepalanya, dia pasti akan belajar dengan rajin. Sekolahnya tinggal beberapa bulan lagi, dia akan segera lulus dari Sekolah ini. Sekolah yang cukup banyak mengajarkannya tentang arti kehidupan.

"Siap." Balas Mey dengan semangat. Pak Bim tersenyum dengan manisnya, tak percaya Mey akan seimut ini.

"Kenapa? Terpesona sama kecantikan Mey?" Ucap Mey polos.

"Udah sana, bentar lagi masuk"

Mey menelusuri koridor sekolah, menuju ke atas tempat kelasnya berada. Mey menunjukan senyumannya disepanjang koridor sekolah, semua nampak membalas senyum Mey. Ia sempat terbayang kenangan masa lalu, saat dirinya dikucilkan disekolah ini. Tak menyangka semuanya akan berubah berkat Pak Bim, tapi tetap saja menurut Pak Bim semua ini  berkat diri Mey sendiri.

Mey memasuki kelas, terlihat Eca sedang duduk memandangi layar handphone miliknya. Cukup serius bagi seorang Eca, biasanya pagi-pagi seperti ini ia akan mengajaknya ke kantin. Entahlah, banyak sekali perubahan yang terjadi kepada Eca.

"Ca?"

"Eh loe Mey, baru dateng?"

Mey menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan Eca, lantas menyimpan tasnya dan mengeluarkan handphone miliknya. Suasana hanya seperti ini sedari Mey datang, sepi dan tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Mey merasa jika dirinya terlalu pagi datang ke sekolah. Eca berdiri dari posisinya sekarang.

"Kemana?" Tanya Mey.

"Toilet"

"Mau dianter ngga?"

"Ngga usah, gue bisa sendiri. Nitip tas gue ya Mey" ucap Eca.

Mey tersenyum sambil menganggukan kepalanya, dia kembali ke aktivitas awalnya. Memandangi layar handphone miliknya, membuka layanan chating di handphonenya. Ingin menanyakan apakah Pak Bim sudah sampai dirumah atau belum?

Tiba-tiba saja handphone Eca berdering, Mey tersadar jika handphone Eca berada diatas meja sedari tadi. Dan kali ini, handphone itu berdering.

Bunda.

Mey mengangkat telpon dari Bunda Eca, ia cukup akrab dan bahkan bisa dibilang sangat akrab dengan Ibunda Eca. Mey berbincang hangat dengan Ibunda Eca, dan akhirnya telepon harus terputus karena Bunda dari Eca sedang sibuk sekarang. Ia hanya menitipkan salam kepada Eca.

Mey melihat layar handphone Eca, dan berniat menyimpannya kembali. Tapi, niatnya terhenti. Mey melihat sesuatu didalam handphone Eca. Sesuatu yang sangat membuatnya kaget begitu saja.

Hatinya terasa sesak, keringat dingin mulai menjalar diseluruh tubuh Mey. Dia Eca, satu-satunya sahabat yang selama ini Mey percaya. Dia Eca yang selama ini Mey sayangi lebih dari seorang sahabat. Iya, dia memang Eca.

"Mey?" Dengan sigap Mey melihat ke sumber suara. Matanya sudah berkaca-kaca kali ini, Mey memaksakan senyumnya agar tetap mengembang dibibir indah miliknya.

"Ca?"

"Loe lagi apa?" Tanya Eca, Eca langsung merebut handphonenya dari tangan Mey. Tangan Eca meluncur bebas ke atas pipi Mey. Baru kali ini, Mey mendapat perlakuan kasar dari Eca seperti ini.

"Ngga seharusnya loe liat-liat handphone gue." Sentak Mey, ini memang Eca. Ini memang tubuh Eca, tapi ini bukan diri Eca yang sebenarnya. Itu yang Mey rasakan kali ini. Mey memegangi pipi kanannya, masih terasa perih. Namun, hatinya tetap yang terperih kali ini.

"Maaf" lirih Mey.

"Sekarang! Loe udah tau semuanya"

"Dan gue ngga perlu nutupin ini lagi dari loe, gue juga udah cape main petak umpet kayak gini" ucap Eca.

Mata Mey mulai mengeluarkan beberapa tetes cairan bening yang berhasil meluncur bebas diatas pipinya. Dadanya terasa sangat sesak, ini benar bukan Eca.

"Ca? Ini bukan loe kan?"

"Kenapa? Loe kaget?"

"Iya ini gue, gue yang nyebarin foto loe sama Pak Bim ke seantero sekolah ini"

"Gue yang nyebarin berita-berita loe dan foto loe ke pihak sekolah. Kenapa? Loe marah? Loe ngga suka?." Ucap Eca dengan nada tinggi, Mey hanya diam dan menunduk sesekali demi menenangkan dirinya.

"Kenapa?" Tanya Mey lirih.

"Kenapa loe tanya??"

"Loe yang harusnya tau jawabanya Mey, dari dulu loe emang ngga pernah tau apa yang ada didalam hati gue, loe ngga pernah ngerti apa yang gue mau, loe ngga pernah paham sama gue, sama hati gue. Loe egois Mey, loe hanya peduli dengan hati loe tanpa mau tahu apa yang gue rasain" jelas Eca sambil menunjuk dadanya, isak Mey semakin tak terkendali. Ia benar-benar merasa hancur kali ini. Eca yang selama ini ia percaya telah menghianatinya.

"Loe ngga pernah peduli sama apa yang gue rasain Mey."

"Gue suka sama Ajun, dan loe juga suka. Tapi, apa loe pernah tanya ke gue kalau gue suka apa ngga?"

"Loe sahabat gue kan?" Tanya Eca.

"Gue mau loe benci sama Ajun"

"Ini alasan gue, kenapa dari kemarin gue tuduh Ajun yang sebarin foto loe ke pihak sekolah."

"Karena gue mau, loe benci sama Ajun."

Mey menggigit bibir bawahnya, isaknya sudah mulai terdengar oleh Eca. Untung saja ini masih pagi, masih belum banyak yang datang. Air matanya sudah bercucuran tanpa henti, tangannya mengepal sangat kuat. Tak terima dengan alasan Eca, ia menghianati Mey hanya karena seorang pria.

"Gue suka sama Ajun, sebelum loe suka sama Ajun!"

"Ca?" Panggil Mey lirih.

"Apa? Kenapa? Loe mau benci gue? Benci aja"

"Ca! Ngga seharunya loe kayak gini. Kalau aja dulu loe bilang kalau loe suka sama Ajun mungkin gue akan mundur." Omongan Mey sedikit menggunakan nada tinggi sekarang. Isaknya coba ia tahan, namun nihil itu semua tidak bisa ia lakukan. Rasanya sangat sesak. Perih. Dan sudah terasa beku sekarang.

"Gimana gue tau apa yang loe rasain, kalau loe aja ngga mau ngasih tau gue apa yang sedang loe alami" lanjut Mey.

Eca tertunduk, dia mencoba memahami setiap perkataan Mey. Tetapi tetap hatinya sudah tak terkendali.

"Loe selalu gini, selalu nutupin semuanya dari gue."

"Loe mau gue tau tentang loe, tapi loe ngga pernah cerita sama gue" lanjut Mey.

Mey mengambil tasnya, dan pergi meninggalkan Eca. Ia tidak marah dengan apa yang Eca lakukan. Hanya saja ia butuh waktu untuk sendiri sekarang. Hatinya masih tak bisa menerima dengan kejadian yang sudah menimpanya sekarang.

Mey pergi meninggalkan sekolah, sudah tidak berasa jika ia harus tetap berada disekolah. Ia berlari menuju pintu yang berada dibelakang sekolah. Tindakannya kali ini memang salah. Tapi, sudah tidak ada yang bisa ia lakukan lagi sekarang. Ia pergi menuju taman yang berada didekat sekolanya, meluapkan segala kekesalannya. Ia hanya bisa menangis dan memegang dadanya yang terasa sakit. Semua tangisnya keluar tanpa aba-aba lagi.

"Gimana gue tau apa yang loe rasain, kalau loe aja ngga mau ngasih tau gue apa yang sedang loe alami." Anindhita Meyra Fortuna.
.
.

You Are Different [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang