33. Jawaban

641 57 14
                                    

Mey dan Ajun berada di depan gerbang cokelat rumah Pak Bim, sudah ke-tiga kalinya Ajun menekan lonceng elektrik yang sudah disediakan untuk memberi tahu bahwa ada seseorang yang datang. Tidak ada jawaban dari dalam sana, juga tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah sana.

Mey menyandarkan tubuhnya pada gerbang rumah Pak Bim, rasanya sangat lelah sampai kakinya terasa lemas dan tidak dapat menompang tubuhnya lagi. Meskipun berat badan Mey sudah normal, tetapi akhir-akhir ini ia merasa tubuhnya sangat lemah.

Ajun merendahkan tubuhnya, menyamakan tubuhnya dengan tubuh Mey. Kini mereka berdua sejajar, menatap kedepan. Menatap tanah yang berbayangan kosong dan semu. Mey memeluk lututnya, menyembunyikan wajahnya dari lipatan tangan yang memeluk kedua kakinya. Matanya terasa perih, dan sudah tidak dapat menampung air matanya lagi.

Seperti inikah akhirnya? Sebuah akhir yang sangat menyakitkan. Pak Bim pergi dari kehidupannya, entah kemana dia. Mey mencoba menghubunginya beberapa kali, namun nihil tidak ada jawaban dari Pak Bim. Isak tangis Mey pecah, ini benar-benar menyakitkan.

Ajun mencoba menenangkan Mey, tubuhnya perlahan memeluk Mey agar tenang dalam dekapannya. Tangis Mey semakin menjadi-jadi, teringat kembali perjuangan dirinya dan Pak Bim yang hancur karena keegoisan Mey yang tidak mau mendengar penjelasan Pak Bim.

"Mey?" Lirih Ajun, ia khawatir dengan keadaan Mey. Ia tahu Mey memaksakan keluar rumah sakit hanya untuk bertemu Pak Bim, dan kenyataannya mereka berdua tidak dapat bertemu Pak Bim disini.

"Mey pulang yuk, badan loe belum sembuh sepenuhnya." Ajak Ajun namun sama sekali tidak Mey dengar, ini bukan jawaban yang Mey inginkan dari tujuannya ke rumah Pak Bim. Ia ingin menemui Pak Bim dimana pun Pak Bim berada, entah siapa yang salah. Mey dan Pak Bim sama-sama tidak tahu apa yang harus mereka perbuat saat itu.

"Mey?"

"Loe harus istirahat Mey, ngga seharusnya loe kayak gini"

"Apa Pak Bim ngga akan sedih liat loe korbanin kesehatan loe buat nunggu Pak Bim?" Lanjut Ajun sedikit meninggikan suaranya. Entah dari kapan sikap Ajun jadi berubah seperti ini, bukan Ajun si anak angkuh yang dulu Mey kenal. Mey membangkitkan kepalanya, mengusap sisa-sisa cairan matanya dari pipi kanan-kirinya.

"Mey kita pulang" ucap Ajun dengan lirih.

Mey memandang Ajun, omongan Ajun benar. Pak Bim memang penting untuk ia temui tapi, tanpa kesehatannya ia tidak dapat menemui Pak Bim. Mey menganggukan kepalanya memberi jawaban pada Ajun, ia membalikan tubuhnya. Mey melihat lekat-lekat rumah Pak Bim, benar-benar tak berpenghuni. Kemana perginya Pak Bim? Mey menghela nafasnya, kenangan-kenangan bersamanya terasa terputar kembali di hadapannya kini.

Mey akan cari Pak Bim. Tunggu Mey Pak.

Mey membaringkan tubuhnya di atas kasur kesayangannya, beberapa menit lalu Ajun berpamitan pada ibunda Mey untuk pulang. Setelah Ajun pulang Mey bergegas menuju kamar, merebahkan dirinya untuk menetralkan kembali otak nya. Agar ia dapat berfikir jernih untuk mencari Pak Bim sehingga tidak membuat kesalahan lagi nantinya.

Mey menyembunyikan tubuhnya menggunakan selimut, ia hanya bisa menahan rasa sesak hatinya di bawah sana. Mey benar-benar tidak dapat petunjuk kemana ia harus menemui Pak Bim. Rasanya sangat menyesal tidak mendengar penjelasan Pak Bim kemarin.

Dringgg..

Tiba-tiba saja ponsel Mey berdering, sontak saja suaranya menyadarkan Mey dari lamunannya pada Pak Bim. Mey bergegas mencari benda yang mengeluarkan suara itu, menumpahkan seluruh isi tas nya demi benda pipih kesayangannya. Ia hanya takut jika itu memang Pak Bim dan ia tidak sampai mengangkat teleponnya.

Nomor tidak dikenal sudah terlihat jelas di ponselnya, nomor yang sepertinya bukan dari negara yang sama dengan Mey. Ia cukup ragu untuk mengangkatnya, namun Mey mengangkatnya untuk mengobati rasa penasaran.

You Are Different [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now