"Kebahagiaan aku itu sederhana, ketika perut sudah kenyang."
―Renata yang doyan makan
Aku baru saja menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulut. Rasanya perutku penuh banget. Memang, ya, nasi goreng Mang Ucup itu enggak ada tandingannya. Walaupun Cuma kedai pinggir jalan, tapi rasa makanannya patut diacungi jempol. Bahkan aku hampir setiap hari makan di kedai Mang Ucup.
"Ck, kamu itu perempuan, tapi porsi makannya banyak banget," kata Pak Bagas menatapku dengan tatapan tidak percaya. Ya, emang aku akui kalau porsi makanku itu banyak banget.
"Ya abisnya porsi di restoran tadi itu sedikit banget! Mana kenyang saya," ucapku, jujur.
"Biasanya perempuan itu makannya sedikit, dan bahkan ada juga yang enggak makan dijam segini," ujar Pak Bagas sembari melirik arlojinya.
"Saya mah enggak ada batas jam makan." Aku itu enggak ada yang namanya diet-diet segala. Walaupun porsi makanku banyak, tapi badan aku kurus-kurus aja.
Aku itu juga tipe orang yang suka menjaga kesehatan. Contohnya, sebisa mungkin berolahraga di hari libur, itu pun kalau lagi enggak males. Hehe.
Oh, iya. Kalian bertanya-tanya, kan kenapa aku dan Pak Bagas bisa terdampar di kedai nasi goreng?
Jadi gini ...
"Sebenernya ... saya ... " Pak Bagas terlihat ragu ngomongnya.
"Sebenernya saya ... apa, pak?" aku jadi gereget sendiri karena Pak Bagas.
Pak Bagas menghela napas. "Kamu dengerin baik-baik, ya. Saya enggak bakal ngulang."
Aku Cuma mengangguk. Lalu, menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Saya dengerin, Pak."
"Sebenernya saya butuh bantuan kamu---bukan, ini perintah, kamu harus mau!"
Dih maksa.
"Saya ingin kita mengambil foto berdua buat ngasih bukti ke bunda saya kalau saya sudah punya pasangan biar bunda saya enggak terus-terusan meneror saya untuk segera menikah."
Krik krik
Aku melongo. Pak Bagas ngomongnya cepet banget kayak kereta, tapi aku menangkap apa yang dibicarain Pak Bagas.
Pengin ketawa, tapi takut disemprot.
Aku melipat bibir ke dalam biar tawaku enggak pecah. Sumpah, Pak Bagas ngajakin aku makan biar bisa foto bareng?
HAHAHAHA
"Pfftt." Aku menutup mulut dengan tangan biar tawaku enggak keluar.
"Enggak usah ketawa! Enggak ada yang lucu!"
"Iya, pak, iya. Maaf," ujarku. "Saya mau foto, tapi ada syaratnya."
"Loh? Kan kamu udah saya ajak makan di restoran mahal. Kenapa pake syarat segala? Kamu pikir kamu itu artis?!"
"Yaudah kalo bapak enggak mau,"ucapku sok jual mahal.
Pak Bagas menghela napas, lalu berkata, "Oke, apa syaratnya?"
"Saya mau makan di kedai nasi goreng deket rumah saya." Syarat yang aku ajuin enggak perlu mengeluarkan uang banyak. Cukup makan di kedai nasi goreng yang berada di ujung perumahan, tempat di mana aku tinggal.
"Cuma itu?" tanya Pak Bagas. Aku Cuma mengangguk sebagai jawaban.
"Keluarin ponsel bapak," ucapku, memerintah.
Pak Bagas mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Dengan tiba-tibanya Pak Bagas memegang tanganku, yang tentu saja itu buat aku terkejut.
Aku belum siap woy ... main pegang-pegang aja!
Ckrek!
"Sudah." Eh?
"Udah, pak? Cuma foto tangan doang? Mana percaya bunda bapak. Entar dikira nyari di google," kataku. Dengan tidak sopannya aku mengambil paksa ponsel Pak Bagas yang lagi digenggam.
Aku berdiri, lalu menempatkan diriku di samping Pak Bagas. Mensejajarkan wajahku dengan wajah Pak Bagas. Saking dekatnya, aku bisa merasakan kalau pipiku bersentuhan dengan pipi Pak Bagas.
"Kamu mau ngapain?!" tanya Pak Bagas sedikit terkejut.
"Liat ke kamera, Pak. Senyum ... "
Ckrek!
YOU ARE READING
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...