Bagian 24 ; Gelap

12.8K 570 43
                                    

Jarum jam pendek menunjuk ke angka Lima, sedangkan jarum panjangnya di angka Tiga. Pukul 17:15. Itu berarti sudah Lima belas menit aku menunggu Pak Bagas, yang saat ini sedang di parkiran, mengambil mobilnya.

Angin berhembus cukup kencang, membuat rambutku yang terurai begitu saja bergoyang tertiup angin. Aku menatap ke atas langit. Sebelumnya langit cerah berwarna biru, kini mulai menggelap mendung.

Sepertinya akan hujan.

Kemudian, terdengar suara klakson membuatku sedikit terkejut. Itu Pak Bagas. Aku segera masuk ke dalam mobil berwarna hitam itu.

Setelah melewati jalanan kota yang cukup ramai di sore hari, ditambah cuaca yang mendung, akhirnya aku dan Pak Bagas sampai di sebuah unit apartemen mewah.

Duh, kalau saja aku tidak ikut Pak Bagas, mungkin sekarang aku sedang bersantai duduk sambil makan camilan. Atau mampir ke kafenya Maya. Berbagi cerita sambil menikmati secangkir cokelat panas.

Begitu pintu berwarna hitam itu terbuka, aku segera melangkah masuk menuju ke sofa berwarna abu-abu. Tidak sopan memang, main duduk begitu saja padahal pemiliknya belum menyuruhku untuk masuk dan duduk. Bodo amat lah, lagian Pak Bagas diam saja.

***

Aku menggosokkan kedua tanganku di atas paha, sebenarnya aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya duduk dan sesekali mengedarkan pandangan. Sedangkan Pak Bagas, begitu sampai ia langsung masuk ke kamarnya. Dan ini sudah hampir lebih dari Tigapuluh menit.

Ceklek!

Pintu terbuka. Muncul sosok Pak Bagas dengan kaos putih yang dipadukan dengan sweater berwarna biru dongker. Rambutnya terlihat berantakan dan basah, menandakan kalau ia baru saja mandi. Tercium aroma sabun. Wangi dan segar. Sedangkan aku, mukaku berminyak dan juga bau parfum yang tercampur keringat. Duh, pengin mandi rasanya.

Terlihat gelagat Pak Bagas yang entah mau ngapain. Dia berdiri saja, antara mau duduk atau tidak. "Rena, kamu nggak mau ke kamar mandi gitu? Muka kamu keliatan dekil."

Nggak usah diperjelas juga kali, Pak. Kalo ngomong nyelekit amat.

"Iya, Pak. Kalo gitu saya ijin ke kamar mandi," jawabku sambil bangkit dari duduk.

"Kamar mandi belakang kran airnya rusak. Kamu pakai yang di dalam saja," kata Pak Bagas membuatku berbalik yang sebelumnya ingin ke kamar mandi yang ada di belakang.

"Tapi, Pak, rasanya enggak sopan gitu."

"Nggak sopan? Bukannya kamu udah pernah masuk ke kamar saya tanpa bilang-bilang. Saya ingatkan kalo kamu lupa."

Ah, iya ya. Pak Bagas kalo ngomong suka bener.

"Ngapain diem aja? Udah sana. Abis itu bantuin saya masak." Interupsi Pak Bagas membuat aku pada akhirnya masuk ke kamarnya.

***

"Di kantor kerjaannya marah-marah melulu, tapi di apartemen malah pake celemek bunga-bunga begitu," cibirku saat melihat Pak Bagas yang sibuk di dapur. Perhatianku justru pada apron yang di kenakan Pak Bagas.

"Kenapa memangnya? Terserah saya dong," katanya sambil mematikan kompor.

"Celemek bunga-bunganya berbanding terbalik sama kelakuan Bapak. Enggak cocok," ucapku terdengar kesal.

Kemudian Pak Bagas berjalan ke arah meja makan sambil membawa makanan yang telah matang dan sudah tersaji di atas piring.

"Sisanya bawa sini, Ren," titah Pak Bagas. Lalu aku membawa mangkuk berisi sop ayam. Aroma sedap menggoda indra penciumanku dan juga perutku yang bergejolak meminta.

The Boss and IWhere stories live. Discover now