Bagian 28 ; Sebuah Kabaar II

2.5K 130 6
                                    

Setelah membayar taksi, aku segera berlari masuk ke area lobi rumah sakit. Menuju ke meja resepsionis dengan terburu-buru. Mengatur napasku yang tersengal-sengal, aku mencoba menanyakan di mana Pak Bagas berada ke perawat perempuan yang berdiri di balik meja.

Aku segera menuju ke lift setelah perawat memberitahuku. Dengan rasa khawatir yang menyelimuti. Aku seraya berdoa kalau Pak Bagas tidak apa-apa. Bahwa Pak Bagas baik-baik aja.

Aku menghentikan langkahku saat melihat Pak Bagas terbaring di sana. Dengan mata yang berkaca-kaca aku menghampiri Pak Bagas.

Aku spontan memeluk tubuh Pak Bagas. "Pak, bangun pak! Buka matanya, Pak. Bapak masih hidup, kan? Bangun dong, Pak," kata ku dengan terisak.

"Ren, saya masih hidup, kok," lirih Pak Bagas membuat ku refleks menjauh membuat jarak dengan Pak Bagas. Melihat wajah Pak Bagas dengan sangat dekat.

"Kamu ganggu saya lagi istirahat tahu! aduh kepala saya pusing," ucap Pak Bagas dengan lemah. "Mau sampe kapan kamu peluk saya begini?"

Pertanyaan Pak Bagas membuat ku langsung berdiri tegak, menjauh dari tubuh Pak Bagas.

Hening.

"Tangan Bapak nggak apa-apa?" tanyaku. Bodoh. Sudah jelas tangan Pak Bagas sampai diperban begitu.

"Bisa liat, kan? Tangan saya patah." Pak Bagas tetap menjawab pertanyaanku dengan raut wajah kesal.

"Kalo Bapak butuh bantuan bilang saya aja, Pak."

"Sudah pasti. Tangan saya diperban begini pasti susah mau aktifitas."

Pikiranku sudah menjelajah, membayangkan gimana Pak Bagas akan menyusahkanku. Dengan segala perintah-perintah yang terlontar dari mulut Pak Bagas. Hadeh.

"Kenapa? Kamu mau protes?" pertanyaan pak bagas membuyarkan bayangan suram yang terpikir olehku. Kemudian aku hanya menggelengkan kepala.

***

Aku menaruh semangkuk bubur yang baru saja matang ke atas meja. Sudah dua hari aku pagi-pagi sekali sudah harus ke apartemen Pak Bagas. Kemudian berjalan ke arah kamar, membuka perlahan pintu tersebut dan mendekat ke arah Pak Bagas yang masih tertidur lelap.

Aku memandang wajah tampan Pak Bagas sejenak. Setelahnya langsung menggelengkan kepala cepat. Baru sadar apa yang aku pikirkan beberapa derik yang lalu.

"Pak." Aku memanggil Pak Bagas sambil menyentuh lenganya pelan.

Aku terkejut kemudian menempelkan punggung tanganku ke dahi nya Pak Bagas. "Yaampun Pak, badan Bapak panas banget!"

Renata dengan cepat kembali ke dapur dan membawa baskom kecil serta handuk kecil untuk mengompres Pak Bagas.

Semoga saja dengan cara seperti ini demam Pak Bagas menurun.

***

Aku menaruh handuk kecil di atas dahinya Pak Bagas, terus seperti itu berulang-ulang. Memerhatikan wajah Pak Bagas yang pucat dan tertidur. Terlihat lemah, apalagi tangannya juga masih dalam balutan perban.

Aku berniat untuk ke dapur, untuk menyegarkan tenggorokan ku yang terasa haus. Namun, belum juga bangun, tanganku sudah digenggam oleh Pak Bagas. aku baru ingin ngucap sesuatu, tapi Pak Bagas malah menarikku ke dalam pelukannya. Aku terkejut untuk beberapa detik, kemudian mencoba untuk lepas.

"Sebentar," lirih Pak Bagas. dan aku biarkan saja seperti ini.

Deg deg deg

Aku bisa merasakan degup jantung Pak Bagas, dan juga suhu panas tubuhnya.

Badanku mulai terasa pegal, ini sudah hampir sepuluh menit tapi belum juga muncul tanda-tanda Pak Bagas akan melepaskanku.

"Pak," panggilku pelan. Aku mencoba menarik pelan tubuhku.

"Loh Renata! Kenapa kamu peluk peluk saya?!" teriak Pak Bagas seraya mendorong tubuhku. Raut wajah pak Bagas terlihat panik dan terkejut.

Aku menghela napas, mengerlingkan mataku jengah. "Bapak yang meluk saya."

"Kamu cari kesempatan ya Renata," ucap Pak Bagas terlihat kekeuh.

"Bapak sudah bisa marah marah berarti sudah sehatan ya, Pak. Kalo gitu saya mau pulang dulu, Pak. Permisi."

Aku menghentakkan kaki kemudian mengambil tasku dengan kasar. Sudah datang pagi-pagi malah kena omel. Dapat ucapan terimakasih saja tidak.

Sabar Renata.

The Boss and IWhere stories live. Discover now