Bagian 25 ; Terjadi Begitu Saja

9K 435 15
                                    

Cahaya mentari berusaha menerobos masuk ke dalam mataku yang setengah sadar, memaksaku untuk terbangun. Tapi rasa kantuk yang hebat membuatku sangat malas membuka mata. Rasa dingin yang menggelitik permukaan kulit membuatku meraba mencari selimut, namun yang kudapati adalah sesuatu yang melingkar di pinggangku.

Apa itu?!

Aku langsung membuka mata dengan penuh keterkejutan.

Tangan Pak Bagas dengan tidak sopannya melingkar di pinggangku. Bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya di area leher. Pun dengan dada bidangnya yang menempel di punggungku.

Kenapa Pak Bagas bisa memelukku?

Tanpa menoleh sedikit pun ke belakang, dengan perlahan aku mencoba menyingkirkan lengan kekar milik Pak Bagas, namun ia malah mengeratkan pekukannya. Membuatku menghela napas pasrah.

Iya, jadi semalam karena Pak Bagas tidak mau di tinggal sebentar ke meja makan —mengambil ponsel— akhirnya aku dan Pak Bagas duduk diam di atas kasur. Awalnya aku menolak keras, tapi Pak Bagas memaksaku dan tidak membolehkankku di sofa saja. Kalau sudah begitu, mau tidak mau aku akhirnya menerima, tapi dengan satu syarat.

Jaga jarak!

Pria dan wanita dalam satu ruangan yang gelap. Aku enggak mau hal yang aku pikirkan terjadi.

Bisa saja, kan, setan lewat? Terus Pak Bagas kebablasan dan aku... duh, ngebayanginnya saja membuatku merinding.

Aku membalikkan tubuh menghadap Pak Bagas. Sontak saja membulatkan mata saat mataku dan Pak Bagas bertemu. Niat awalnya aku ingin mendorong tubuh Pak Bagas supaya menjauh, tapi Pak Bagas sudah bangun lebih dulu. Jadi aku mengurungkan niatku tersebut.

Seketika area pipiku terasa memanas saat mengetahui ada yang aneh, dengan penuh tenaga aku mendorong dada Pak Bagas.

"Kenapa Bapak enggak pake baju?!" teriakku. Aku baru sadar kalau Pak Bagas ternyata tidak mengenakan bajunya. Astaga, lihat otot perutnya itu!

Mataku ternodai!

"Semalem saya kegerahan, jadi saya lepas," jawabnya dengan santai.

"Tapi, kan ada saya di sini! Bapak jangan seenaknya gitu dong!" kataku dengan kesal seraya menyilangkan kedua tanganku di depan dada.

Pak Bagas berdecih, "Ini rumah saya, suka-suka saya lah," ucapnya, lalu turun dari kasur yang kemudian masuk ke kamar mandi tanpa mempedulikanku.

Mulutku komat-kamit. Mengeluarkan sumpah serapah yang dilayangkan untuk bosku yang menyebalkan itu.

Pagi-pagi udah bikin naik darah!

***

Setelah memastikan rambut dan pakaianku rapi dan benar, aku segera keluar dari kamar Pak Bagas namun baru saja di ambang pintu tiba-tiba tubuhku membeku. Sosok cantik dan anggun di dapur yang sibuk menaruh sebuah kotak berdiri memandangku dengan penuh tanda tanya. Begitupun denganku yang tidak bisa menutupi keterkejutan.

"Rena, kamu jangan pulang dulu, bikinin saya sarapan." Suara Pak Bagas terdengar seraya berjalan dan berdiri di sampingku. Aku memberi isyarat gerakan mata untuk Pak Bagas supaya melihat ke depan.

"Bunda?" Pak Bagas langsung sadar dan buru-buru mendekat pada bunda. "Ini nggak seperti yang bunda pikirkan, oke." Pak Bagas berusaha menjelaskan apalagi keadaan Pak Bagas yang tidak mengenakan atasan.

"Kita duduk, jelasin dengan tenang, paham?" Bunda berjalan ke arah sofa, menyuruh Pak Bagas dan aku duduk dihadapan Beliau.

Nyonya Aditama menatapku dengan tatapan tajam yang membuat nyaliku menciut. Pak Bagas datang dan duduk setelah mengenakan pakaiannya dengan lengkap. Jantungku rasanya enggak karuan, apalagi saat melihat Nyonya Aditama menghebuskan napas dengan kasar sambil memijit keningnya.

"Bunda enggak tahu harus seneng apa kecewa? Di satu sisi Bunda merasa lega ternyata Bagas enggak seperti rumor diluar sana, tapi disisi lain, memangnya kalian tidak tahan apa?" Bunda terdiam sesaat. "Renata dan Bagas, kalian harus segera menikah."

Aku terdiam. Tidak tahu harus menanggapi ucapan Bunda seperti apa. Tapi, Pak Bagas menggenggam tanganku, membuatku menoleh padanya. Saling menatap satu sama lain. 

The Boss and IWhere stories live. Discover now