Bagian 17 ; Bercanda Atau Serius?

11.7K 813 26
                                    

Aku masuk ke area pantry. Di sana, seorang pria dengan kemeja berwarna maroon tengah membuat sesuatu. Aku berjalan mendekat, mengambil cangkir dan juga bubuk kopi. Berdiri di samping Dimas yang tengah menyeduh kopi.

"Ren, Pak Bagas ke mana, sih? udah siang begini belum dateng juga," tanya Dimas.

Benar juga, sudah siang begini Pak Bagas belum menunjukkan batang hidungnya. Padahal biasanya, Pak Bagas selalu datang tepat waktu. Pak Bagas itu sangat merhargai waktu, dan juga disiplin. Makanya aku heran, tumben sekali Pak Bagas belum datang.

"Aku juga enggak tahu," jawabku jujur.

"Kamu, kan sekretarisnya, setidaknya kamu tahu gitu Pak Bagas di mana?" Dimas bertanya lagi.

Aku memang sekretarisnya, tapi Pak Bagas tidak mengirimi aku pesan atau panggilan telepon. Jadi, aku enggak tahu posisi Pak Bagas sekarang.

"Aku duluan, ya," kata Dimas. Setelah aku mengangguk, Dimas berlalu pergi.

Membalikkan tubuh, aku bersandar pada meja yang ada di sana. Dengan tangan kiri memegang cangkir, dan tangan kanan menggenggam ponsel. Aku menekan kontak Pak Bagas, menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Ayo dong Pak, angkat telponnya." aku menaruh cangkir putih itu di atas meja.

Aku terus mencoba menelepon Pak Bagas. Jujur, aku khawatir, aku takut ada sesuatu yang menimpa Pak Bagas. Tidak biasanya Pak Bagas begini—tidak datang pagi dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya—makanya aku khawatir.

Sudah Lima kali aku menelepon, dan ketika aku mencoba keenam kalinya, suara seseorang di seberang sana terdengar.

"Iya, Rena?"

"Pak Bagas di mana, sih? jam segini belum dateng juga? tumben banget, enggak biasanya lho. Bapak kalo ada apa-apa itu bilang ke saya, jangan diem aja, jangan tahu-tahu enggak masuk kantor. Kan saya khawatir. Bapak di mana?"

"Saya di apartemen. Untuk hari ini saya enggak masuk kantor dulu, mungkin besok saya udah masuk lagi."

"Entar dulu, suara Pak Bagas kok beda, ya? Bapak sakit?" tanyaku mulai khawatir. Suara Pak Bagas terdengar beda di telinga.

"Enggak, Cuma lagi flu aja," jawab Pak Bagas dari sebrang sana.

"Yaudah, Pak, kalo gitu saya ke apartemen Pak Bagas sekarang."

Pip! Aku langsung memutus sambungan telepon sebelah pihak. Aku yakin Pak Bagas sekarang lagi ngomel-ngomel sendiri, karena aku menutup telepon begitu saja.

***

Enggak usah ke apartemen saya!

Itu isi pesan singkat dari Pak Bagas. Tapi, aku tetap saja ke apartemennya, karena sekarang aku tengah di dalam taksi menuju ke apartemennya Pak Bagas.

Aku khawatir. Jarang sekali Pak Bagas sakit, malah hampir enggak pernah? Pak Bagas itu sangat menjaga kesehatan. Dia itu suka berolahraga, makan makanan sehat, dan juga minum vitamin. Tapi, namanya juga manusia, ada titik di mana tubuh merasa lelah, dan jatuh sakit.

Aku mikir, Pak Bagas di apartemen itu sendirian. Sekarang Pak Bagas dalam kondisi yang lagi enggak sehat. Tidak ada yang mengurusnya. Makanya aku berinisiatif untuk datang ke apartemennya. Mungkin, dengan adanya aku, aku bisa membantu sedikit Pak Bagas.

Taksi yang aku tumpangi berhenti, sudah sampai tujuan. Setelah membayar aku segera masuk ke dalam gedung bertingkat yang ada di hadapanku.

Hingga akhirnya aku tiba di depan apartemennya Pak Bagas. Menekan bel beberapa kali, hingga pemiliknya membuka pintu.

"Sudah saya bilang, enggak usah dateng ke sini! Kamu ngeyel banget, sih!"

Aku baru dateng sudah kena semprot aja.

Tanpa peduliin kata-kata Pak Bagas, aku main masuk ke dalam apartemennya begitu saja. Bahkan aku mendengar Pak Bagas menggerutu.

"Sekarang Bapak istirahat di kamar, nanti saya buatin bubur," titahku. Tapi Pak Bagas tetap saja berdiri, tidak berniat masuk ke dalam kamarnya. Karena aku tidak sabar, akhirnya aku menarik Pak Bagas dan memaksanya untuk rebahan di atas kasur. Tidak lupa aku tarik selimut untuk menutupi tubuh Pak Bagas.

"Bapak istirahat di sini, saya bikinin bubur," kataku, dan berlalu ke arah dapur.

***

Aku duduk di sisi ranjang. Menaruh semangkuk bubur di atas nakas. Memperhatikan Pak Bagas yang terlelap tidur. Wajahnya sangat tenang, seperti tidak ada beban. Kadang aku merasa kasihan sama Pak Bagas, pusing mikirin perusahaan. Sampai lupa akan kehidupan pribadi.

Kerutan terlihat di kening Pak Bagas, aku mengelus keningnya pelan. Perlahan, tidur Pak Bagas mulai tenang kembali. Suhu tubuh Pak Bagas cukup tinggi. Aku segera ke dapur dan menyiapkan air kompresan.

Dengan hati-hati aku menaruh handuk kecil yang sudah dibasahi ke dahi Pak Bagas. Aku lakukan hal tersebut berulang-ulang.

"Eh? Keganggu, ya, Pak? Maaf," kataku ketika Pak Bagas bangun. Sepertinya tidurnya keganggu gara-gara tadi air kompresannya tidak sengaja menyimprat ke mukanya Pak Bagas. Hehe.

"Oh, iya, ini buburnya di makan dulu," kataku sambil mengambil mangkuk berisi bubur.

"Saya makan sendiri," ucap Pak Bagas ketika aku mau menyuapinya.

"Saya suapin!"

"Saya bisa makan sendiri, Renata. Saya bukan anak kecil!"

"Sssttt, saya suapin," kataku memaksa. Akhirnya Pak Bagas mau tidak mau mengalah, dan membiarkan aku menyuapinya.

"Emangnya Pak Bagas enggak ada niatan buat cari istri gitu?" Tanyaku tiba-tiba.

"Pertanyaan macam apa itu? Memangnya kamu itu siapa? Nanya-nanya hal pribadi." Pak Bagas terdengar tidak suka dengan pertanyaan yang aku ajukan.

"Maaf, Pak. Tapi, saya benar-benar penasaran, Pak Bagas enggak ada niatan buat nikah?" Sungguh, aku sangat amat penasaran. Kenapa sampai sekarang Pak Bagas belum juga menikah? Padahal Nyonya Aditama terus meminta Pak Bagas untuk segera menikah.

"Mending kamu pulang aja deh. Kepala saya tambah pusing kalau kamu di sini," ujar Pak Bagas mengusirku.

"Saya enggak mau pulang! Saya dateng ke sini mau ngurusin Pak Bagas, niat saya baik. Biar Bapak cepet sembuh," kataku. "Makanya, Pak, cari pacar sana. Biar kalo ada apa-apa ada yang ngurusin, sakit misalnya."

"Saya udah punya pacar," celetuk Pak Bagas.

Serius?! Aku enggak salah dengar, kan?

"Bener, Pak? Siapa?" Tanyaku antusias.

"Kamu."

"Apaan, sih, Pak? Saya, kan cuma pacar pura-pura doang," kataku menekan kata 'Pacar pura-pura'.

"Oh, kalo gitu kamu mau jadi pacar saya beneran?"

Oke, omongan Pak Bagas mulai ngelantur.

"Enggak!"

"Kalo gitu ... Jadi istri saya, mau?"

"Gara-gara sakit Pak Bagas ngomongnya ngawur, nih," ujarku. Berusaha setenang mungkin, padahal rasanya sudah mau kabur saja.

"Saya serius, Rena. Kamu mau jadi istri saya?"

Hening.

"Saya pulang aja deh, Pak." Baru saja aku bangkit dari duduk, Pak Bagas menarik tanganku. Membuatku kembali terduduk.

"Um, makasih," cicit Pak Bagas.

"Iya, Pak. Sama-sama, kalo gitu saya pamit pulang," kataku. Kemudian, berjalan keluar kamar. Tapi, baru sampai di ambang pintu, Pak Bagas memanggilku, membuat aku membalikkan tubuh. Menghadap ke arah Pak Bagas.

"Rena, soal tadi saya ... Serius."

The Boss and IWhere stories live. Discover now