3

117K 6.7K 103
                                    

Selamat Membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca

Jangan Lupa Vote dan comment yang banyak... :)

------------

Lelah seolah berkawan dengan Rebbeca, dan meski ingin menyalahkan Dita karena terus menekannya soal deadline, ia tidak bisa melakukannya. Dita sudah memberi waktu selama satu tahun, menunggu dengan sabar karya terbaru dari Rebbeca. Timeline kerja Dita terus berjalan. Tapi Rebecca harus buat apa. Selama satu tahun, bahkan sampai malam ini, ia belum juga tahu apa yang harus ditulis. Ide sedang menghindari benaknya. Semua yang ia mulai berakhir dihapus.

Rebbeca memasuki lift apartemen yang menyatu dengan salah satu mal besar di Jakarta. Pandangannya berhenti sesaat pada paper bag berisi baju Jevin. Sengatan aneh terasa di sekujur badan Rebecca, saat ia mengingat obrolannya dengan Jevin—senyum pria itu. Ah, sayang sekali ia tidak punya kesempatan mengenal pria itu lebih dekat. Ia mau, tapi tidak bisa.

Pintu lift kembali terbuka dalam hitungan detik.

Ada dua orang pria masuk, dan salah satunya membuat Rebbeca nyaris menjerit.

Senyum itu.

"Kita emang ditakdirkan selalu bertemu." Terdengar suara bernada dalam yang tidak asing, dan Rebbeca masih menganga—tidak tahu harus menjawab seperti apa.

"Lo kenal, Jev?" tanya pria tambun yang bersiap menekan tombol lift, tapi tidak jadi begitu melihat lantai 9 sudah dipilih.

"Kenal. Dia Beca—pelanggan kedai." Jevin tersenyum semakin lebar. "Oh ya, Beca... ini Bang Tommy—manager aku."

Bang Tommy menaikkan satu alisnya, dan memandang Rebbeca serta Jevin bergantian. Mungkin dalam hati sedang bertanya; sejak kapan ada keharusan manager dikenalkan ke pelanggan kedai.

Rebbeca mengatupkan bibir begitu sadar Jevin sengaja mengambil posisi di sampingnya, hanya menyisakan jarak beberapa jengkal. Rambut Jevin sedikit basah seolah baru keluar dari kamar mandi. Aroma citrus dari pria itu menggoda sisi liar Rebbeca.

"Jadi, apa yang kamu lakukan di sini? Ini bukan lift ke mal. Apa kamu mengunjungi seorang teman, atau..." Sementara Rebbeca masih tertegun. Jevin terus berceloteh. Sialnya, Rebbeca tidak mampu memahami apa yang disampaikan Jevin. Ia hanya fokus memperhatikan cara bibir Jevin bergerak. Sialan. Tiba-tiba saja Jevin pindah posisi di depannya, kilatan jenakan terlihat di mata hazel pria itu, diikuti bunyi ting nyaring. "Well, sepertinya kita keluar di lantai yang sama." Jevin dan Bang Tommy keluar lebih dulu.

Rebbeca yang terlalu lelah untuk pura-pura salah lantai akhirnya mengikuti, dan mereka berjalan ke lorong yang sama. Lagi. Rebbeca nyaris menjerit. Jevin berhenti di sebelah apartemennya, Bang Tommy membuka pintu dengan semangat dan masuk lebih dulu.

Jevin melirik Rebbeca, yang masih terdiam di depan pintu kamar—tidak mencari kunci, atau berupaya masuk. Hanya memandangi Jevin penuh tanya.

Jevin sepertinya menyadari kebingungan Rebbeca. "Wah... semesta sedang memaksa kita untuk dekat."

NakedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang