23. Merasa Bersalah

7.1K 259 0
                                    

"Kenapa cinta dan belas kasih terasa tak ada bedanya?"

"Assalamualaikum," ucap Sonia.

"Waalaikumsalam," membuka pintu kamar dan mempersilahkan Sonia masuk, "Ada apa Sonia? Apa kamu butuh sesuatu? Biar aku ambilkan ya?"

"Hafsya," memegang tanganku dan membawaku untuk duduk di tepi ranjang, "Aku sangat bahagia memiliki sahabat sepertimu, aku bisa melihat betapa kamu sangat menyayangiku. Bahkan kamu akan sangat cepat mewujudkan semua apa yang menjadi keinginanku. Terima kasih ya?" Ucapnya lembut disertai dengan senyum yang tulus.

"Kenapa kamu jadi berterima kasih? Bukankah kamu yang mengajarkan agar jangan pernah ada kata maaf maupun terima kasih diantara kita?"

"Kamu sangat baik Hafsya, aku tidak mempunyai apapun untuk membalas semua kebaikanmu itu padakau kecuali hanya kata terima kasih ini yang ku punya."

"Kamu yang lebih banyak memberikan sesuatu padaku Sonia bukan aku," jawabku merendah.

"Kalau begitu apakah aku boleh meminta sesuatu lagi darimu?"

"Tentu Sonia, apa saja."

"Kamu ikut kami untuk ke panti asuhan ya?"

"Ngapain?"

"Aku dan Mas Ilyas terbiasa setiap bulan untuk menyempatkan diri untuk berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Dan aku berencana untuk mengajakmu juga. Gimana? Kamu maukan?"

"Insyaallah."

"Kalau begitu aku siap-siap dulu ya?"

"Iya"

Aku mengikuti Sonia hingga sampai di depan pintu dan saat Sonia sudah tidak terlihat dari jarak pandangku aku kembali masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap.

Setelah semua aku rasa cukup, aku segera keluar agar tidak membuat Sonia dan Ilyas menunggu. Dan alangkah terkejutnya aku melihat banyak sekali barang di ruang tamu, mulai dari baju hingga berkotak-kotak makanan terjajar rapi disana.

"Kenapa semua barang dan makanan ini ada di sini?" tanyaku pada Sonia.

"Semua ini adalah yang akan kita berikan untuk anak-anak yang ada di panti."

"Aku kira kita hanya memberikan uang."

Sonia hanya tersenyum mendengar perkataanku. Aku akui memang selama ini aku belum pernah berbagi di panti asuhan. Jangankan untuk berbagi bisa keluar rumah tanpa sepengetahuan Paman dan Bibi saja sudah menjadi barakah bagiku. Bahkan sampai saat ini pun aku belum pernah melihat panti asuhan itu seperti apa.

"Kita berangkat?" tanya Ilyas yang membuyarkan lamunanku.

"Iya, ayuk Hafsya," ajak Sonia padaku.

"Tapi barangnyakan belum dimasukkan mobil. Biar aku masukan dulu ya?"

"Tidak usah Hafsya, Mas Ilyas tadi sudah menyuruh beberapa orang untuk membawa semua ini. Jadi kita tinggal berangkat saja."

"Owh gitu ya," ucapku yang serba tidak tahu.

Kini aku baru tahu kalau ternyata Ilyas dan Sonia sebenarnya sangatlah kaya. Namun ketidaktertarikkannya kepada hal-hal duniawi membuat mereka memilih untuk hidup sederhana. Lagian buat apa rumah megah namun tidak ada kedamaian di dalamnya, pikirku.

Sahabatku Istri SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang