42. Kehormatan di Balik Niqab

6.5K 264 12
                                    

"Jika wanita yang terlihat begitu cantik karena parasnya, bisa saja kita temui dimana-mana. Tetapi seorang muslimah sejati yang berhati cantik, tetaplah yang menjadi paling istimewa."

Beberapa menit telah berlalu. Tangis Zabrina pun sudah mulai reda. Sonia mulai melepas pelukkannya dan mengusap sisa-sisa airmata yang ada di pelupuk mata Zabrina.

"Jangan menangisi sesuatu yang sudah terjadi Zabrina. Karen aku takut kamu tidak akan punya tenaga lagi untuk menyambut masa depan."

"Kenapa kamu bicara seakan tahu tentang semua yang terjadi padaku?"

"Aku tidak tahu Zabrina, karena aku hanya memahamimu dari setiap tatapan matamu."

"Bagaimana caranya?"

"Gunakanlah ini," menunjuk tepat dimana letak hati Zabrina berada.

"Terima kasih, terima kasih," ucap Zabrina berkali-kali sambil memeluknya kembali dengan airmata yang kembali menetes pula.

"Sama-sama," melepas pelukkan mereka.

Mengusap airmatanya, "Maaf ya gara-gara aku make up mu jadi belum siap."

"Tidak papa, aku yakin kamu sudah handal dalam hal ini, sehingga kamu hanya butuh waktu sebentar untuk menyelesaikannya," ucap Sonia dengan senyuman.

Tersenyum sebentar, "Kalau begitu kita mulai sekarang saja ya?"

"Iya."

Dengan sangat lihai Zabrina mulai menggerakkan tangannya agar bisa menari bebas di wajah Sonia. Diriku yang sudah selesai dirias, kini sudah bisa melihat aktivitas mereka dengan penuh kekaguman.

"Zabrina, make upnya natural saja ya," pinta Sonia.

"Iya, aku tahu kok. Takut kalau nanti jadi tabarruj kan?"

Setelah mendengar pertanyaan Zabrina tadi, aku langsung saja spontan mengerutkan dahi. Bagaimana Zabrina bisa tahu akan hal itu?

"Iya," jawab Sonia pendek tanpa menunjukkan reaksi kaget sama sekali.

"Akhirnya selesai juga," ucapnya setelah selesai melaksanakan tugasnya.

"Terima kasih ya Zabrina, kamu memang sangat pandai membuat keajaiban," puji Sonja untuk Zabrina.

"Sama-sama, lagian bukan make upku kok yang membuatmu terlihat begitu secantik ini, melainkan karena paras cantikmulah yang tak bisa ditipu oleh warna kimiaku ini," jawabnya dengan senyuman yang puas, "Apa yang kamu lakukan Sonia?" tanya Zabrina kemudian saat Sonia mulai menutupi wajah cantiknya dengan niqab.

Ya, Sonia memang terlihat sangat cantik malam ini. Aku pun mengakuinya. Sejatinya Sonia adalah memang wanita yang sangat cantik, apalagi kalau dirias seperti ini, pasti dikira bidadari jika ia tidak menutupi wajahnya dengan niqab.

"Memakaikan niqab diwajahku," jawab Sonia santai.

"Kamu serius? Aku menghiasmu susah payah, dan kamu menutupinya begitu saja?"

"Iya, aku serius Zabrina. Karena kecantikkanku hanya untuk suamiku."

"Kamu becanda ya? Kamu tahu tidak berapa bajed yang harus suamimu keluarkan untuk yang sekarang melekat di tubuhmu ini?"

"Aku tidak becanda Zabrina, bahkan aku pun juga tahu semua yang melekat di tubuhku saat ini pastilah sangat mahal. Tapi harga diri seorang muslimah jauh lebih mahal daripada semua perhisan di muka bumi ini Zabrina.  Karena sejatinya seorang muslimah adalah perhisan yang paling berharga itu sendiri."

"Kamu memang wanita yang sangat berbeda Sonia. Karena selama aku bekerja, tak satupun dari wanita yang ku rias melainkan niat mereka selalu ingin terlihat paling menarik dan juga mengagumkan."

"Aku tidak ingin menjadi menarik maupun mengagumkan Zabrina. Tapi aku hanya ingin menjadi yang paling istimewa di mata suamiku, dan aku juga tidak akan pernah menjadi yang paling istimewa jika aku saja tak mengistimewakannya."

"Terserah kamu saja Sonia, memahamimu itu membutuhkan keahlian khusus bagiku."

Sonia hanya tersenyum mendengar perkataan dari Zabrina, yang kemudian ia menengok ke arahku yang masih juga menggunakan senyuman yang sama yang ia gunakan untuk Zabrina tadi. Aku pun juga membalas senyumannya, karena aku tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh Sonia. Dengan sangat lembut aku mulai mengambil niqabku dan menyusul Sonia untuk menutupi wajah kami dengan niqab tersebut.

Entah apa yang terjadi tapi tiba-tiba saja Zabrina dan keempat temannya meneteskan airmata. Aku pun mulai memahami saat keempat teman muslim Zabrina tertunduk malu karena merasa terketuk hatinya untuk memahami akan pentingnya menutup aurat bagi seorang muslimah.

Seperti juga mereka, aku pun juga tersentuh atas setiap kata-kata Sonia. Aku berdoa semoga keempat teman Zabrina ini segera mendapat hidayah dan terketuk hantinya untuk menutup auratnya yang saat ini masih terlihat bebas oleh setiap mata yang memandangnya.

Jika alasan keempat teman Zabrina menangis karena belum menutup auratnya itu bisa saja ku terima, tapi bagaimana dengan Zabrina? Kenapa ia juga menangis haru? Sungguh rahasia kehidupan Zabrina membuatku sangat tertarik untuk mengetahuinya. Tapi seperti yang dikatakan Sonia, tak semua dari diri kita bisa diceritakan kepada orang lain. Sehingga aku hanya bisa memendam dalam-dalam akan keganjalan yang saat ini aku rasakan tentang Zabrina.

Tok tok tok.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab kami dari dalam kamar.

"Sepertinya sumi Anda sudah sampai untuk menjemput Anda. Kalau begitu kami permisi dulu ya."

"Terima kasih ya atas bantuan kalian," ucapku kepada mereka.

"Kami juga berterima kasih atas pelajaran yang hari ini kami dapatkan. Jika waktu bisa kembali diputar, maka aku akan memilih kalian untuk yang kutemui pertama kali," ucap Zabrina tulus.

"Sama-sama, dan aku juga berdoa, semoga Allah mempertemukan kita lagi."

"Amin," jawab keempat teman Zabrina.

kini mereka telah pergi dengan membawa sebagian barang-barang yang mereka bawa ke rumah kami tadi. Kami pun berjalan bersama hingga sampai di depan pintu utama rumah kami untuk mengantar kepergian mereka.

Deg!!!

Tiba-tiba saja jantung Zabrina berdetak begitu cepat ketika berpas-pasan dengan Mas Ilyas. Ia merasakan getaran yang sama sekali tak ia mengerti. Ia terus saja memandang Mas Ilyas tanpa berkedip sama sekali. Walau Mas Ilyas tak membalas pandangan darinya, tapi hal itu tak juga membuat ia menundukkan pandangannya.

Aku dan Sonia hanya bisa saling memandang. Berpikir apa yang sebenarnya ada di benak Zabrina. Kenapa Zabrina menatap Mas Ilyas dengan selekat itu? Astagfirullahalladzim, apakah aku cemburu?

"Assalamualaikum," ucap Mas Ilyas kepada Zabrina dan keempat temannya sesaat setelah sadar apa yang saat ini kami rasakan.

"Waalaikumsalam," jawab kami kecuali Zabrina.

Ya, kecuali Zabrina. Karena ia sama sekali tak juga menggubris salam dari Mas Ilyas. Melainkan ia malah tersenyum saat Mas Ilyas melihat kearahnya.

"Zabrina?" sentuh Sonia untuk menyadarkan Zabrina dari lamunannya.

"I i iya," jawab Zabrina dengan gugup.

"Mas Ilyas, mengucapkan salam untuk mu."

"Oh," hanya meresponya dengan senyuman, "Zabrina," mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Mas Ilyas.

"Ilyas," menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Istri Anda sangat beruntung ya," ucapnya setelah menarik tangannya yang tak mendapat sambutan dari Mas Ilyas.

"Kenapa?"

"Lupakan saja, saya hanya asal bicara," ucapnya mengelak.

"Oh, terima kasih ya sudah membantu istri saya untuk bersiap."

"Sama-sama. Kami permisi dulu ya."

"Iya."

"Assalamualaikum," ucap keempat teman Zabrina.

"Waalaikumsalam," jawab kami hampir bersamaan sesaat setelah kepergian mereka.

Sahabatku Istri SuamikuOù les histoires vivent. Découvrez maintenant