13

861 121 109
                                    

SEOUL 10 tahun kemudian.


Kamar bernuansa putih itu telah rapi sejak pagi. Sang pemilik yang tidak lain dan tidak bukan adalah Jung Yein, tampak sibuk mengoleskan maskara pada bulu matanya. Lipstik merah menjadi penyempurna penampilannya hari ini. Menatap pantulan dirinya untuk waktu yang lama, Yein merasa jika ia sudah cukup siap untuk bertemu lagi dengan mereka. Terutama orang itu.

Yein menghela napas pelan, kemudian beranjak dari meja riasnya untuk memilih sepatu hak tinggi berwarna putih yang sekiranya cocok dipadukan dengan dress yang ia kenakan. High heels setinggi 7 cm dengan aksen tali menjadi pilihannya.

Smartphonenya berbunyi nyaring ketika ia akan menutup pintu kamar. Yein melihat sekilas nama yang tertera pada layar benda persegi panjang itu. Ia abaikan tanpa menjawab panggilannya. Yein melirik jam yang tertempel di dinding. Setengah jam adalah waktu yang dibutuhkannya untuk sampai di tempat terselenggaranya acara. Tahu betul jika saat ini ia sudah terlambat. Yein sengaja melakukannya. Toh yang terpenting dia hanya harus menyetor muka di sana sebentar saja.

Yein tidak tergesa-gesa. Ia belum sarapan. Baiklah ini memang sudah sangat terlambat untuk dikatakan sarapan. Sebaiknya ia mengisi perutnya dahulu sebelum menghadapi sesuatu yang besar hari ini. Dia tidak mau ambruk.

Gadis itu cukup membuat susu dan cereal. Bunyi nyaring tadi sudah tidak terdengar meski si penelepon begitu gigih menghubunginya. Mode senyap telah terpasang di sana. Yein tidak suka jika sarapannya diganggu. Sudah berapa lama sejak ia tidak menyukai berbagai macam hal. Menjadi manusia baru yang bagi sebagian orang mungkin teramat menyebalkan.
Entahlah. Saat ini Jung Yein bahkan tidak mengenali dirinya sendiri.

***

"Ada apa?" seorang pria dengan jas berwarna merah maroon menepuk pundak Hoseok yang tampak gusar di depan lobi Hotel. Hoseok menggeleng. Terlihat cemas.

"Yein mengabaikan panggilanku. Ini sudah yang ketiga puluh! Seharusnya ia sudah sampai di sini. Aku takut terjadi sesuatu padanya."

"Mungkin dia sedang menyetir."

Hoseok mengambil napas berat. Kemungkinannya memang begitu. Tapi tetap saja Hoseok tidak tenang. Padahal semalam ia sudah menyuruh Yein untuk menginap di rumahnya supaya mereka bisa berangkat bersama pagi ini. Tapi dengan seribu alasan Yein menolak. Katanya hari itu ia lembur hingga larut.

"Aku juga sudah rindu padanya. Sudah 6 bulan sejak kami sekeluarga pindah ke Incheon."

"Apa dia sering menghubungimu? Dulu dia suka sekali curhat padamu kan?"

"Hanya beberapa kali. Itupun aku yang menghubunginya. Dia terlihat sangat sibuk. Apa ada masalah?" tanya Min Suga dengan tatapan ingin tahu.

"Sebenarnya tidak," Hoseok kembali menarik napas dalam. "Tapi dia itu sering menghilang tanpa kabar semenjak memutuskan tinggal sendiri."

"Kalian melepasnya tinggal sendiri? Traumanya sudah sembuh ya?"

"Dokter bilang ini sebagian dari teraphy. Kami sempat keberatan. Tapi ternyata Yein malah terlalu nyaman seperti ini. Aku jadi susah mengawasinya."

Suga terkekeh pelan. "Biarkan dia menikmati hidupnya. Ah mungkin dia sudah memiliki kekasih."

Kening Hoseok mengernyit untuk mengingat sesuatu. Terakhir kali Yein mengenalkan pria padanya tiga bulan lalu. Namanya Kim Yugyeom. Wajahnya mirip Jungkook. Dan Hoseok tidak menyukai fakta itu. Kenapa harus mirip dengan Jungkook?

"Semoga saja dia sungguh-sungguh dengan yang ini."

Hoseok juga ingin Yein segera mendapatkan pria yang tepat. Hoseok pikir juga Yein jarang menggunakan hatinya saat berkencan. Asal pria itu baik, berkualitas, dengan senang hati gadis itu akan menerimanya.

Not Mine [√]Where stories live. Discover now