Chapter 17

142K 11.9K 391
                                    

Ternyata liburan tiga hari tak memuaskanku. Kembali berkerja adalah kewajiban jika aku masih ingin digaji. Kulihat koper yang telah dipersiapkan untuk perjalan seminggu ke Bandung. 

"Ck, baru masuk kantor udah disuruh keluar aja." 

Kini penyesalan datang menghampiriku seandainya aku kemarin menolak ajakan Bu Fatmala pasti sekarang aku sedang berkerja di kantor baru, bukan malah di suruh ke luar kota untuk melakukan riset. Dasar nasib berkerja di departemen RD (Reseach and Developement)

Aku sekarang sedang berada stasiun sendirian, bapak ketua proyek dan Bu Fatmala belum menunjukan batang hidungnya. Kami bertiga akan menggunakan kereta api, terdengar aneh memang untuk skala perusahaan multinasional tapi pegawainya hanya disediakan transportasi kereta.

"Ayas!" Aku melepaskan headsetku ketika mendengar panggilan Bu Fatmala. Semua tatapan teralihkan pada Bu Fatmala yang memakai pakaian seksinya. Rok pendek, kemeja ketat serta high heels-nya jauh berbanding terbalik dengan kaos oblong warna hitam dan jeans lamaku. Bu Fatmala ini jenis-jenis janda muda yang seksi dimana semua orang bisa mudah terposana atas kharisma alaminya.

"Buk, apa nggak salah kostum banget nih? ini stasiun loh tempat pemotretan." godaku sambil membantu menarik koper besarnya.

"Haish, sudah jangan dibahas, saya nggak sempat ganti tadi habis dari rapat sama Gemintang." Telingaku berkedut ketika mendengar nama yang sudah lama tak terdengar di indera pendengaranku.

"Loh si Gemintang belum datang? Saya kira tadi dia izin duluan bakal nyampe sini duluan ternyata lelet juga dia."

"Si-siapa bu?"

Dalam hati aku berdo'a semoga Gemintang yang dimaksud Bu Fatmala barusan bukanlah Gemintang yang itu. Sejujurnya aku tak tahu perasaanku saat ini, antara antusias, takut, malu, atau bingung. Jika itu bukan Gemintang dosen sok kegantengan itu (ya walaupun memang ganteng natural) aku akan sujud syukur di lantai stasiun saat itu juga dan jika skenario terburuknya adalah yang dimaksud Pak Gemintang Prambudi maka aku akan ... tidak tahu, otakku tidak bisa berjalan untuk memikirkan hal lain saat ini.

"Dosenmu ituloh. Baru lulus dua tahun aja sudah lupa dosen sendiri ya kamu."

"Nggak kok buk saya masih ingat, berarti ketua proyek kita Pak Gemintang?"

"Ya siapa lagi. Eh bentar ya, saya ganti dulu pakaian di toilet. Risih nih." Aku memberikan Bu Fatmala senyum canggung dan mencoba menenangkan degupan jantungku.

Kira-kira gimana ya bapaknya sekarang?
Makin ganteng nggak sih? atau makin gendut ala bapak-bapak?

Aku tertawa miris pada diriku sendiri, baru saja disebut namanya aku sudah kebingungan dan antusias semacam ini bagaimana kalau ketemu langsung nanti?

"Nasib ... nasib ...."

"Kenapa dengan nasibmu?"

Aku memuat mataku jengah dan menoleh kepada seorang pria yang duduk tepat di sampingku. 

"Bukan urusan lo--" 

What. The. Fuck.

Dengan cepat aku menutup mulutku dengan kedua telapak tangan. Demi apapun aku merutuki kebiasaan buruk untuk berbicara sembarang. Di depanku Pak Gemintang duduk dengan alis yang terangkat satu menunggu aku melanjutkan kata-kata kasarku.

"Pa-Pak Gemi-Gemintang saya minta maaf. Ta-tadi saya kira orang lain."

"Bukan berarti dengan orang lain kamu bisa berbicara sinis seperti tadi." Aku duduk tegap dan menundukan kepalaku akibat malu.

"Maaf pak, saya tadi kelepasan."

"Kamu Ayasha?"

"I-iya pak saya Ayas, asdos bapak dulu."

"Makin cantik."

"Eh bagaimana, Pak?" Pak Gemintang tak menghiraukan pertanyaanku, ia menyilangkan kaki jenjangnya dan fokus mengutak-atik ponsel. Aku masih menunggunya menjelaskan kalimat terakhirnya tapi sepertinya tak ada harapan bagiku.

Baru saja aku mau menyenderkan punggungku pada sandaran kursi sebelum Pak Gemintang dengan kurang ajarnya membuat jantungku berontak sekali lagi dengan kalimat pendeknya.

"Saya bilang kamu semakin cantik." Wajahku memanas seketika meskipun Pak Gemintang mengatakannya sambil melihat ponsel miliknya tapi kata-kata itu sangat ampuh membuatku panas dingin.

Tak ada percakapan di antara kami, Bu Fatmala tak kunjung selesai berganti pakainnya. Seorang ibu-ibu melihat kursi kosong di sampingku. Ia terlihat kelelahan berdiri tapi dengan tubuhnya yang sedikit lebih besar membuatku harus bergeser untuk memberikan ruang antara aku dan Pak Gemi lebih.

"Silahkan, Buk." 

Pak Gemintang meletakan ponselnya di saku kemeja bagian dadanya dan aku hampir berteriak kaget ketika tangan Pak Gemintang dengan lihai menarik pinggangku untuk mendekat ke arahnya. Aku menatapnya dengan mata yang terbuka lebar terkejut dengan tindakan beraninya. Dengan jarak yang saling berhimpitan membuat wajah kami hanya berpaut beberapa senti saja.

Kedua alisnya dikerutkan seperti orang bingung.

"Wajah kamu kenapa memerah? Kamu sakit?" Aku segera bangkit dari dudukku dan menepuk pipiku pelan.

"Ma-maf pak sa-saya ke toilet dulu." Dengan gerakan jurus seribu bayangan aku berlari meninggalkan Pak Gemintang ke arah kamar mandi. Tepat bersamaan ketika aku masuk, Bu Fatmala sedang merias wajahnya di depan cermin.

"Loh kamu kok disini? koper-kopernya gimana?"

"Sama Pak Gemintang, Bu."

"Oh Gemintang sudah sampai?" Aku mengangguk dan membasuh wajahku di westafel pinggir Bu Fatmala berdiri.

"Kamu kok wajahnya merah gitu?"

Aku mengedikkan bahuku untuk berusaha terlihat cool. Tidak mungkin aku mengatakan karena aku baru ketemu lagi sama Pak Gemintang dan kami berdua tatap-tatapan dekat banget sampai rasanya aku pengen jadi orang gila saja, melupakan semua kejadian memalukan dengan beliau. Kalau sampai aku dilabrak sama istrinya kan bagaimana?

Cuy cuy cuy cuy naudzubillah....

Kembali tersadar jika Pak Gemintang bukanlah manusia single, aku teringat dia punya keluarga kecil yang menunggunya di rumah. Memikirkan itu aku menghela napas kecewa. Bu Fatmala yang menutup tutup lipstick-nya tertawa melihat pantulan wajahku di cermin.

"Kamu kenapa sih Yas, aneh banget? kamu terpaksa banget nih kerja bareng kita?"

Aku menggelengkan kepalaku cepat, takutnya jika Bu Fatmala salah paham, "Nggak kok, Bu, saya justru merasa banyak bersyukur bisa diberi kesempatan kerja sama ibu dan Pak Gemintang."

"Yakin? kok wajahnya lecek gitu?"

"Soalnya saya sedikit tertekan masalah ibu sama bapak, dua-duanya orang ahli lah sedangkan saya pengalamannya masih sedikit." ucapku dengan senyum lebar agar terkesan bercanda dan untungnya Bu Fatmala tak lanjut bertanya, ia hanya menepuk kepalaku dan ijin keluar dulu menghampiri Pak Gemintang.

Sekali lagi aku menatap pantulan wanita yang mirip denganku di cermin toilet. Aku jadi rindu Sri, dia biasanya akan tetap menyemangatiku dan berkata bahwa aku masih tergolong cantik sehingga aku tak perlu khawatir akan masalah pria. 

Panggian costumer service yang memanggil para penumpang kereta agro tujuan bandung terdengar. Itu adalah keretaku. Aku menepuk-nepuk pipiku dan kembali membasuh wajahku untuk terakhir kalinya setelah itu aku mengikat rambutku dalam sebuah sanggul atas,  jaketku lebih kuketatkan dan kini aku terlihat semakin jauh dari kata menarik.

Aku tak peduli, aku akan tampil cantik untuk diriku sendiri bukan untuk pacarku Rijal atau orang lain terlebih untuk seorang Gemintang. Tidak. Aku akan tampil cantik jika aku mau.

*

Besok lagi yaaa....

Bagaimana, Pak? (Complete)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt