Day 2

4.9K 606 39
                                    

Pagi cerah datang, menggantikan hujan yang sejak kemarin mengguyur wilayah tersebut. Kise merasakan kopinya makin pahit belakangan, penyebab utamanya karena ia menyadari sang istri sudah meninggalkan rumah semenjak pagi buta--hanya menyiapkan nasi dan lauk seadanya. Tidak ada memo di lemari pendingin yang memberi Kise Ryouta petunjuk tujuannya, dan itu membuat Kise bingung.

Ketika Ryouta memutuskan merenggangkan otot sembari menghirup udara segar, tetangga sebelah rumah--Nyonya Yoshioka yang sudah siap dengan gunting rumput berisiknya--mengatakan pada Kise bahwa (Name) sudah berangkat bekerja dengan pakaian rapi semenjak pukul 5 pagi tadi.

"Dijemput mobil mewah," kata Yoshioka renta sembari terseok-seok memotong tanaman teh-tehan depan rumahnya yang sudah tak beraturan, "mereka berpamitan padaku, tapi tidak bilang akan melakukan apa pagi-pagi buta begitu."

Kise tersenyum kering. Berterima kasih atas informasi dari Nyonya Tua yang telah lama menjanda itu sembari membenarkan tindakan (Name). Buat apa juga berpamitan pada tetangga sebelah rumah?

Sarapan tidak seenak ketika disantap bersama (Name). Hanya butuh setengah tahun Kise menyadari ia sangat bergantung pada istrinya itu. Kise menopang dagu setelah selesai membereskan peralatan bekasnya makan, menerawang ke langit-langit sembari mengenang masa muda.

"Ternyata begini kalau bebas dari tugas," gumam Kise melankolis. Ia merasa melas sendirian di rumah besar ini. "Ngapain aku beli rumah segedhe ini, ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Padahal kalau dipikir-pikir," Kise menunduk, "(Name) kerja, aku kerja, besok anakku tinggal di rumah segedhe ini sendirian?" gumam pria itu bingung, sepertinya mulai terjebak dalam delusi.

Ia tersentak. "Lha goblok, kemarin 'kan udah bilang 'cerai' malah mikirin anak?" gumam Kise linglung. Ia jadi teringat kejadian kemarin.




(Name) mengerjap mendengar ucapan kalem suaminya itu. Ia menatap manik madu Kise dengan alis mengerut. "Maaf?"

"Kita cerai 'aja?" ulang Kise pelan, ragu. "Gimana?"

Hening.

"Kenapa kamu minta cerai?" tanya (Name) kalem. Ia menegakkan posisi duduknya dan kembali menatap monitor komputernya.

Entah kenapa jantung Kise berdetak lebih cepat. Tenggorokannya serak sampai ia tidak sadar telah menaikkan nada suaranya. "Ini yang aku nggak suka darimu! Dhek, dengerin kalau aku ngomong! Jangan mentingin kerjaan mulu!" bentak Kise kalap.

"Aku bukannya mentingin kerjaan, Mas! Aku udah biasa begini! Udah jadi tanggung jawab aku!" bantah (Name) tak terima, balas berteriak.

"Oh, sekarang kamu berani sama aku?" tanya Kise remeh, "kenapa kamu nggak istirahat? Nemenin aku sebentar!"

"Kamu nggak sabaran banget, sih! Sabar, Kise Ryouta, sabar!"

"Gimana bisa sabar?"

"Ya udah, mah, kalau kamu maunya cerai. Ya udah cerai," sahut (Name) kemudian, jengkel. "Nggak nyadar diri, sendirinya pulang sebulan 'aja belum pasti di rumah," gerutu perempuan itu sembari menggotong laptopnya meninggalkan Kise.




"Tolol," maki Kise pada diri sendiri, ia menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah padam ke balik telapak tangan. "Yha, aku bisa lupa, sih," gumam pria itu menatap kaktus kecil yang kebanyakan air di kusen jendela dekat pancuran. Pria itu mengembuskan napas, kemudian menabrakkan dahinya ke permukaan meja.

***

Rasanya sudah sangat siang ketika Kise mendengar bunyi ketukan dari pintu depan. Ia spontan terduduk tegak, kepalanya yang pusing diabaikan dan buru-buru melangkah ke pintu. Ia ketiduran. Diusapnya kedua mata yang masih berat sebelum tangannya menyentak daun pintu hingga membuka.

Sesosok pria yang sangat mirip Kise dalam versi lebih tua dan wanita berambut cokelat pudar menyambut di depan pintu. Keduanya tersenyum hangat. Ayah dan Ibu Kise.

"Ya ampun, Yah, Bun, kenapa nggak bilang kalau mau mampir?" cetus Kise kaget, mempersilakan keduanya masuk. "Wah, tahu begini 'kan Ryouta harusnya jemput," ujar Kise ketika sang Ibu dengan sayang mengecup pipinya.

Ayah Kise tersenyum lembut, mengusak surai sang putra yang memanjang lantaran belum sempat pergi ke tukang cukur. "Nggak usah repot-repot," tolaknya halus, "ayah juga masih bisa nyetir, kok."

"Tapi 'kan kalau dijemput lebih enak, Yah," Kise masih bersikeras menyalahkan diri. Ia bangkit dari duduknya, "Sebentar, ya, kuambilin minum."


"(Name) mana, Ryou? Nggak kelihatan?" tanya Ayah Kise ketika sang bungsu kembali ke ruang depan dengan nampan berisi tiga gelas, satu poci teh manis, dan sestoples kacang kering.

Spontan saja sang istri terlihat mendecih. Memang, sejak dulu Nyonya Besar keluarga kaya itu tidak menyukai istri dari putra bungsunya itu. Ia bahkan tidak pernah setuju dengan pernikahan Kise dengan (Name), namun karena suaminya dengan legawa memberi izin, Nyonya Kise bisa apa?

Kise tersenyum canggung. "Nggak tahu ke mana, udah pergi sejak tadi," sahutnya pelan.

"Tuh kan," desis Nyonya Kise nyinyir, "dia itu perempuan nggak bener, Ryou," cecarnya ketus. "Bunda 'kan udah bilang, dia pasti bukan istri yang baik," ujar wanita itu jengkel.

"Udahlah, Bun," sela sang suami sebelum Nyonya berparas cantik itu mengungkit kembali kejengkelannya pada (Name) sebelum hari pernikahan Kise terselenggara. Ia menatap Kise dengan pandangan teduhnya. "Kalian lagi ada masalah?"

Hening lama. Kise benar-benar tidak tahu harus menyebut apa kondisinya saat ini, jadi ia hanya terus diam.

"Daripada itu," gumamnya pelan, "kalian berdua kenapa ke mari?" Kise duduk ke hadapan kedua orang tuanya, "Ryouta seneng kalian mau mampir ke gubuk Ryou," ujar pria itu riang.

Ayah Kise terbahak oleh kelakar garing Kise, ia hanya menggeleng dan mengatakan ingin mampir. "Kamu kan anak lelaki ayah satu-satunya," ujar pria baya itu dengan wajah berseri, "kapan kami bisa nimang cucu darimu, Ryou? Ayah dan Bunda udah bosan nimang cucu cewek terus."










Whalah, mampus. []

10 Days to Divorce ∣∣ Kise Ryouta Version [✓]Where stories live. Discover now