Day 3

4K 601 23
                                    

Nyaris saja pagi damai itu remuk ketika Kise Ryouta terbangun dengan (Name) di sampingnya.

Pria itu terdiam dengan punggung seolah berubah jadi tongkat kayu--kaku dan keras, matanya menatap wajah damai (Name) lekat-lekat. Ia heran sendiri. Apakah ia benar-benar akan menceraikan wanita ini? Sebenarnya, apa yang Ryouta pikirkan?

Meneguk ludah kasar, Ryouta beringsut dari ranjangnya. Bergerak ke tepi dan bangkit tanpa menimbulkan suara. Langkahnya perlahan menghampiri jendela, melirik ke luar. Ia bisa melihat siluet sang ayah sudah berdiri di pekarangan, merenggangkan otot. Sepertinya hendak lari pagi keliling kompleks mengingat kemarin pria baya itu berkata demikian.


Ngomong-ngomong, orang tua Kise memang menginap.


Ryouta melirik (Name) yang masih terlelap. Ia tidak tahu kapan wanita itu pulang dan menyelinap ke ranjang bersamanya. Ketika terjebak dalam pikiran, ketukan di pintu membuat Kise seketika menoleh.

"Sayang, ayo turun dan sarapan," suara Nyonya Kise terdengar.

Ryouta menatap pintu dengan gusar. Melangkah perlahan mendekati benda itu dan meneguk ludah pelan. "Bunda duluan aja," ujar Ryouta ragu, "nanti aku nyusul," tambahnya melirik ranjangnya.

Terdengar keheningan lama dari luar. Kemudian ketukan sekali di daun pintu. "Panaskan kalau kamu nyusulnya jam 9," pesan wanita itu sebelum melangkah dari hadapan kamar sang putra.

Ryouta mengembuskan napas pelan. Melangkah ke lemari pakaiannya dan menyambar kaus oblong biru tua dan celana bahan selutut beserta keperluan lainnya. Bergegas ke kamar mandi sembari memikirkan kembali gagasannya bercerai dengan (Name).









Ketika selesai mandi, (Name) sudah duduk termenung menyandar pada kepala ranjang. Rambut wanita itu acak-acakan, seperti biasa ketika baru saja bangun tidur. Perempuan itu diam saja ketika Kise meraih sisir dan mulai membenahi diri, tidak berniat membuka mulut.

Kise melirik dari balik bahunya. Sedikit merasa bersalah mendapati (Name) termenung sembari menatap tangan sendiri di sana.

"Eh, Dhek," panggil Kise pelan, beralih menatap lantai.

(Name) melirik ke arah lelaki itu. Kemudian mendecih pelan. "Oke, ngomong sama lantai," sindir perempuan itu, "sip." Ia kembali membaringkan badannya ke kasur, tidak peduli Kise yang kelabakan dan buru-buru memberikan sekadar kontak mata padanya.

Ah, (Name) nggak peka! Padahal 'kan biar kelihatan keren gitu, omel Kise dalam hati--yang tentu saja tidak ia lontarkan ke luar.

"Soal perceraian kita," mulai Kise ragu.

(Name) melirik, menarik kembali selimut hingga sebatas dada. "Oh, itu serius?" tanya sang wanita dengan santai. "Ya udah, nanti aku balik ke rumah, kalau perlu sidang atau tanda tangan datang aja," jelasnya kembali memejamkan mata.


Kise kicep.

***



Kise benar-benar turun pukul 9 ke ruang makan. Ia hanya menghabiskan sisa waktunya memandangi punggung (Name) yang bergerak naik-turun dengan lembut karena embus napas perempuan itu. Tidak nampak segar, padahal lelaki itu jelas sudah mandi.

Tuan Kise menyambut ketika putra bungsu keluarga itu menginjak lantai yang menjadi alas ruang makan.

"Halo, Nak," sapa Kise senior dengan cengiran lebar yang diturunkannya pada sang putra, "kayaknya kamu perlu mangkas teh-tehan di depan. Udah ngganggu, tuh," ujar Tuan Kise sembari menyesap kopinya dengan khidmat.

Kise tersenyum kaku. "Iya, Yah, nanti," jawab Kise sekenanya. Ia mengambil duduk ke depan sang ayah, kemudian menopang dagu.

"Nggak sarapan?" tanya Tuan Kise pengertian.

Kise menggeleng lemas. "Ayah sendiri?"

"Udah tadi."

Hening.

Tuan Kise kembali menyesap kopi paginya. Ia meletakkan gelas kembali ke meja saat kopinya hanya tersisa sepertiga gelas. Ditatapnya sang putra lekat-lekat. Kantong mata yang tipis di bawah mata sayu nan letih, bibir melengkung ke bawah--serius biasanya selelah apa pun Kise semasa remaja dulu, ia tidak pernah menunjukkan raut letih macam ini. Tuan Kise juga tidak tahu, ia hanya mampu menepuk-nepuk kepala putranya dengan lembut.




Kok Tuan Kise merasa bersalah sering jadi Bang Toyib ketika Kise masih remaja dulu, ya?


"Ada masalah apa, Jagoan? Sini, cerita sama Ayah," bujuk mantan pemain voli itu dengan lembut, "jangan karena kamu udah punya bini terus Ayah kamu anggap sebatas 'Ayah' doang."

Kise mencibir dalam hati. "Dih, 'jagoan' kayak bocah aja," dengusnya sebal. Manyun sembari melirik jam dinding.

Tuan Kise tersenyum lembut. "Mana istrimu? Udah pulang, 'kan?"

"Di atas, sih, masih tidur," jawab Kise pelan.

"Yah," panggil Kise ketika ayahnya hanya diam.

Dibalas deheman dari yang bersangkutan.


"Aku ... mau cerai," ujar Kise pelan.

"Oh."

Kise menatap ayahnya agak bingung. Heran dengan jawaban singkat sang ayah.

"Ayah nggak kaget?" tanya Kise. "Nggak marah?"


"Kamu maso, ya, ternyata," sahut Tuan Kise bergurau, ia terbahak ketika Kise menyanggah dengan raut wajah sewot. "Kenapa harus marah? Itu 'kan hak kamu. Ya kalau cerai, sana ke pengadilan. Tapi Ayah minta kamu pikir-pikir dulu," jawab sang pria dewasa bijak. "Salah ayah juga ngijinin kamu nikah dini, harusnya nunggu 2 atau tiga tahun lagi baru dibolehin," ujar sang pria. "Soalnya kalau kamu cerai," Tuan Kise menyondongkan badan ke arah putranya, "Bundamu bakal kelewat seneng terus buka pelelangan."

"Buset dah bahasanya pelelangan," ujar Kise sedikit terganggu.

"Pikirin dulu, ya."




***

Selepas makan siang (Name) menyeret kopernya yang penuh oleh pakaian. Tanpa berpamitan apa-apa ia melewati ruang tamu, yang sedang ada kedua mertuanya dan suaminya, dan keluar dari rumah besar itu.

"Mau ke mana itu istrimu?" tanya Nyonya Kise menekankan kata terakhir pada ucapannya.

"Tahu, tuh, darmawisata kali," gurau Tuan Kise jahil.




"Bukan," sanggah Kise serius. Kedua orang tuanya spontan menatap padanya yang menunduk. "Dia itu ..."















"Mau beli es krim di perempatan sana."

Nyonya Kise seketika menghadiahkan tabokan penuh cinta pada dua lelaki di hadapannya itu. []



10 Days to Divorce ∣∣ Kise Ryouta Version [✓]Where stories live. Discover now