BAB XIV

4.4K 724 58
                                    

Sebenarnya, pilihan yang diberikan Nyonya Kim kepada Taehyung bukanlah hal yang sulit untuk dipilih dan diterima.

Tapi keadaan Taehyung yang memaksa Taehyung harus menjawabnya matang-matang. Karena ibunya.

"Jadi, Taehyung? Bagaimana?"

Taehyung menggeleng perlahan. "Tidak bisa, Bibi. Aku membutuhkan gaji tiap hari, bukan mingguan ataupun bulanan."

"Aku menyetujuinya."

Taehyung menghela napas. Satu masalah selesai dengan cara baik dan menguntungkan Taehyung. Dimana Taehyung tidak perlu bersusah payah untuk bekerja di tempat yang berbeda. Taehyung cukup bekerja di rumah Nyonya Kim dan mendapatkan gaji yang lebih dari gaji miliknya sebelumnya.

Tapi tiba-tiba kebahagian itu sirna ketika sebuah surat sampai di tangannya.

Tentang permasalahan beasiswa yang tidak lagi ia dapatkan dan Taehyung harus membayarnya secara standar seperti murid-murid lainnya.

Taehyung merasa kebingungan. Apakah ia harus membagi dua soal penghasilannya dan berkata bohong kepada ibunya bahwa sebenarnya ia telah mendapatkan pekerjaan yang baru? Tapi hati Taehyung tidak tega untuk itu. Ia akan tetap jujur karena ia takut ibunya marah dan kecewa terhadapnya.

Tiba-tiba saja seseorang menepuk bahunya, membuat Taehyung mendongak dan di sana, Jeon Jungkook tengah menatapnya dengan senyuman mengembang khas yang Jungkook miliki.

"Hyeong, di sini dingin. Apa yang kau lakukan di sini?"

Mata Jungkook tak sengaja melihat kertas yang digenggam Taehyung. Taehyung menyadarinya dan ia langsung menyembunyikan kertas itu dengan menyimpannya ke dalam tas punggungnya yang berada di pangkuannya.

"Tidak ada." jawab Taehyung datar.

Jungkook menghela napas dan ia mengambil posisi duduk di samping Taehyung, memerhatikan raut wajah Taehyung yang terlihat murung dan tentu saja luka bekas pecahan beling yang ada di kepala Taehyung dan juga wajah lebam masih cukup kentara walaupun rambut Taehyung yang lebat menutupinya tapi tidak dengan lebamnya.

Jungkook ingin sekali bertanya mengenai kejadian tadi malam yang Taehyung alami dengan wanita paruh baya itu, tapi sepertinya Jungkook tidak memiliki hak untuk menanyakannya dan Jungkook takut jika Taehyung justru merasa malu lalu menjauhinya. Biarkan saja Taehyung menceritakannya sendiri kepadanya.

"Hyeong, ayo pergi dari sini! Kau akan kedinginan dan sakit nanti!" ajak Jungkook beranjak karena bel masuk akan berbunyi sebentar lagi.

Taehyung mengangguk, menyandang tasnya untuk kemudian berjalan dengan tangan menggandeng tangan Jungkook.

"Jungkook." panggil Taehyung perlahan.

Jungkook mendongak. "Ya, Hyeong?"

"Kau masih ragu padaku?" tanya Taehyung yang diikuti gelengan Jungkook.

"Aku tidak meragukanmu, Hyeong. Tapi apa yang kau katakan tentang kemarin, kurasa ada benarnya. Kita jalani saja dulu, Hyeong." jawab Jungkook dengan gigi kelincinya yang menyembul keluar.

Taehyung tersenyum tipis sembari menghela napas. Tangannya mengusak surai Jungkook dengan pelan. "Aku akan selalu menunggumu untuk siap, Jungkook."

Jungkook bersorak gembira dan ia menangkup wajah Taehyung. "TaeTae Hyeong, nanti kita jalan-jalan, ya?"

Taehyung menggeleng dan melepaskan tangkupan tangan Jungkook di wajahnya. "Aku bekerja, Jungkook. Kau harus mengingatnya."

Ah. Jungkook mengingat bagaimana cacian ibu Taehyung mengatai Taehyung anak tidak berguna.

In Your Eyes ✔Where stories live. Discover now