Menuju-Mu (part.19)

65 5 0
                                    

Menuju-Mu
.
.

Sorak anak-anak yang bermain kembang api dan petasan, memadati jalan.
Gemuruh takbir berbaris baris.
Semesta benderang meski langit tampak menghitam. Riuh, penuh gelak riang.
Bahagia, melingkupi suasana malam hari raya.
Semua anak berkumpul dengan orang tua, para cucu mengunjungi kakek dan neneknya, para bawahan berlomba memberi ucapan kepada atasannya. Semua bergembira.
Namun Keysha kecil, selalu merasa tak pernah tersentuh itu.

"Kamu siapa?" pertanyaan yang kerap terlontar pada gadis kurus yatim piatu itu, memaksanya untuk menyapu sekeliling. Cuma memandang, sebab percuma menjelaskan. Hanya memancing belas kasihan.
Ini adalah hari mereka yang memiliki keluarga. Sedang Keysha, bukan di antaranya.

Maka selalu, ia pilih ruang yang menyudut. Terpencil, agar tak terlihat. Lebih baik begitu, pikirnya. Sebab semakin ia tertampak, akan semakin banyak yang bertanya, "kamu siapa?"

Dengan duduk di pojok ruang, Keysha bisa bebas menyusuri labirin memori. Kenangan terakhir yang disimpannya dengan sangat hati-hati.
Dalam laci kecil berdebu di sebelah kiri dada, ia memegang kuncinya erat, dalam dekap.

Begitulah. Saat semua teman bercerita tentang kunjungan keluarga besarnya, Keysha ringkih hanya cukup membuka laci kecil berdebu dan mengunjungi ibu di sana.

Menatap mata sayunya yang semakin melemah dengan senyum yang tetap menguat. Ia berkata, "besok kita akan jalan-jalan ke pasar untuk membeli baju lebaran."

Dan Keysha, si gadis kecil lugu dengan ikat kepala dua itu hanya bisa mengangguk senang.
Padahal saat itu mereka hanya berdua di kamar rumah sakit berdinding keramik putih. Namun ia sedetakpun tak pernah merasa sepi.

Si gadis kecil tak tahu, kalau itu adalah malam hari raya yang terakhir bersamanya.

Maka bagi Keysha, Idul Fitri seperti sebuah elegi. Yang terus menerus memaksa memunguti semua kenangan yang bersisa.
Tentang seorang bocah kecil yang berbuka puasa sendiri di bangsal yang dingin.
Tentang koridor panjang yang lengang.
Tentang dinding keramik putih angkuh yang tak peduli pada hatinya yang rapuh.
Tentang harapan sekaligus kekhawatiran nya pada masa depan.
Baginya, setiap hari ini tiba, seakan ia dipaksa memunguti setiap kisah yang telah menyerpih, untuk disatukan meski dengan sergapan perih.

Semua mereka bersuka cita menemui para keluarga. Sedang ia hanya cukup menemui ibunya dalam laci memori. Yang kuncinya hingga saat ini masih dipegang erat, dalam dekap.

Maka jika esok mereka melihat ada senyum yang mengembang setiap kali para tamu datang, percayalah, itu bukan lengkung garis bibir si gadis kecil ....

Sebab ia, masih sibuk mengunjungi sang ibu di sudut ruang itu.

******

Dalam riuhnya jantung ibu kota, berpuluh tahun lalu. Kala jerih, masih rutin menyapa.

Nama gadis itu Keysha.
Ia sudah yatim sejak masih mengeja kata. Kematian yang mendadak, hingga menyisakan irisan luka di sebagian hatinya. Selalu terasa perih, namun Keysha tak tahu pasti di mana tepatnya.
Dan mulai detik itu, ia terpaksa harus membersamai dunia dengan apa adanya, sederhana. Saat teman sebayanya -sekaligus tetangga depan rumah- santai saja memamerkan satu set pensil warna beserta buku cerita yang baru saja dibeli, Keysha hanya bisa tersenyum tipis. Melukis, mewarnai, dan membuat cerita bergambar adalah dunianya. Bagaimana rasanya jika ia yang memiliki semua perangkat itu? Keysha lantas menggantang angan.

Sementara sang ibu, sosok satu-satunya tempat ia melabuhkan cinta dan harap, mendadak harus menjadi wanita yang serba bisa. Melakukan apapun agar dapat bersahabat dengan dunia. Meski seiring dengan tubuh ringkihnya yang sering sakit-sakitan sebab beratnya memanggul beban.

Keysha seorang gadis tomboy maksimal. Ia perempuan satu-satunya dari empat bersaudara. Sejak kecil, sebagian besar isi lemari pakaiannya adalah kaos dan celana pendek atau panjang. Memanjat pohon, menaiki genting rumah, bermain bola kasti, adalah hobi masa kecilnya. Keysha sering tersenyum-senyum sendiri jika mengingat itu. Pernah suatu malam ia mengendap-endap pergi menonton film layar tancap bersama teman-temannya, saat ada acara syukuran di kampung sebelah. Dan akhirnya pulang dini hari dengan sukses memanjat pagar karena ternyata semua pintu sudah terkunci.

Begitulah, teman bermain Keysha yang berjenis perempuan, tak pernah lebih dari angka tiga. Entahlah, mungkin karena Keysha tak pernah mau diajak mereka bermain boneka, atau berpura-pura memasak makanan dengan mengambil belukar di sekitar pekarangan.


Keysha kecil, lebih tertarik mengadu kelereng dengan teman-teman lelakinya. Tergelak saat berhasil menghempas keras bola kasti ke punggung Rino, atau cekikikan sambil mengintip dari tempat persembunyiannya saat Ari kebingungan mencari tubuhnya yang mungil.

******



"Key..., " ibu memanggil Keysha lirih sambil sesekali terbatuk.

"Ya, Bu," Keysha yang sedang asik menggambar di lantai kamar serba putih itu, menoleh dan gegas beranjak mendekati sang ibu.

"Sebentar lagi adzan. Kamu beli makanan dulu sana, buat buka puasa," ibu berkata lembut sambil mengusap kepala Keysha.

"Oke!" gadis berambut pendek itu mengacungkan jempol tangannya dan sigap berlari menuju halaman Rumah Sakit.

Saat Ramadhan begini, menjelang maghrib di sepanjang trotoar depan Rumah Sakit Islam Cempaka Putih selalu dipenuhi gerobak penjual makanan. Ramai sekali. Keysha senang menyusuri pematang jalan itu, mulai dari ujungnya. Melihat sekilas dan menghirup aroma aneka jajanan. Aahh .... sedap sekali. Siomay, gado-gado, es buah, bakso, aneka gorengan, sate, rujak, martabak. Komplit.



Gadis mungil itu merogoh saku celananya. Hmm, cukuplah untuk membeli sebungkus nasi putih dengan 3 buah gorengan. Setelah puas melihat-lihat dan membeli makanan untuknya berbuka puasa, Keysha segera kembali memasuki gerbang Rumah Sakit. Menyusuri lorong dengan melompat-lompat kecil. Sesekali menyapa riang para petugas pembersih ruangan yang melintas.



Disini adalah rumah kedua Keysha. Ia sangat hafal setiap titik sudutnya. Bahkan para pegawai cleaning service, tukang kebun, pengantar makanan, dan perawat sudah akrab dengan gadis lincah itu.

Sudah hampir satu bulan Keysha menemani ibu di sini. Entahlah, ia tak tahu ... sakit apa sebenarnya wanita terkasih itu. Yang Keysha lihat, awalnya ibu hanya sakit batuk yang tak kunjung sembuh. Semakin hari semakin parah, bahkan pernah hingga mengeluarkan darah. Tubuh ibu semakin pucat, kurus dan lemah. Sungguh, gadis kecil itu tak sampai hati memandangnya. Sering ia membayangkan, jika saja diijinkan Tuhan, ingin rasanya Keysha menukar raga. Biar segala derita yang ibu punya, cukup ia saja yang rasa.




Menuju-MuWhere stories live. Discover now