Menuju-Mu (part.25)

46 3 0
                                    

Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak ….

Terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi ….

(Sapardi Djoko Damono)

******

Irfan menatap lekat gadis kecil yang sedang lelap di sampingnya. Wajah putih bersih dengan raut polos, membuat pemuda jangkung itu betah berlama-lama memandangi. Ia mencintai anak dengan keterbelakangan mental itu, segenap hati. Seluruh jiwa. Bahkan melebihi cintanya pada diri sendiri.

Melati, tampak lelah setelah setengah hari ini menjalani rangkaian terapi okupasi. Sejak tadi pagi, ia tak mau jauh-jauh dari kakak kesayangannya itu. Akhirnya, meski tetap di bawah pengawasan tim medis, Irfan ikut  membantu proses terapi secara langsung. Ia ingin, Melati tumbuh menjadi anak yang kuat, mandiri, dan percaya diri. Minimal, dapat menjalani aktivitas hariannya dengan lancar, meski dengan segala keterbatasan yang mengepung seluruh potensi dirinya.

Sebagai penderita kelainan kromosom 21 yang berlebih, Melati mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan, kecacatan, kelemahan fisik, serta intellegency quotient yang relatif rendah. Namun dengan kesabaran dan ketelatenan Irfan, perkembangan motorik, sensorik, juga kognitif gadis kecil itu, sekarang sudah jauh lebih baik. Dalam hal terapi untuk melatih kemandirian makan, Melati sudah lulus. Ia mampu menggunakan alat makan sendiri, mengambil makanan sendiri, dan membersihkan tumpahan makanan sendiri. Ia juga mampu memotong-motong makanan dalam waktu yang layak, tanpa dibantu oleh orang lain. Irfan sungguh sangat bersyukur.

******

"Saat di Kuwait kemarin, Papa bertemu sahabat lama, yang tinggal di sana." Kalimat Pak Bagaskara tiba-tiba kembali terngiang di telinga Irfan. Pemuda itu kembali melamunkan obrolan mereka tadi malam.

"Kami memiliki rencana untuk membangun bisnis bersama," lanjut Bagaskara.

Irfan masih geming, berusaha menyimak dan menebak-nebak arah pembicaraan ayahnya.

"Rumah makan khas Indonesia yang halal, sepertinya cukup prospektif. Bagaimana menurutmu?"

"Keren, Pa. Irfan sangat mendukung," pemuda itu akhirnya menjawab antusias.

"Alhamdulillah. Papa ingin kamu membantu rencana ini. Dari mulai cari lokasi, survey produk dan kecenderungan konsumsi masyarakat di sana. Everything. Semua harus dipersiapkan secara matang. Papa juga ingin, besok kamu yang akan diamanahi untuk memegang usaha itu di sana."

Irfan lantas tersentak. Menetap di Kuwait? Apa dia nggak salah dengar? Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak binaannya di sini? Para seniman jalanan? Studio musik? Taman baca? Rumah singgah?
Bagaimana juga dengan Melati?
Ia juga sedang dalam proyek pembuatan film dengan Bayu Production House. Dan ... Keysha?

"Lebih dari separuh penduduk Kuwait, adalah warga pendatang. Tenaga kerja dari Indonesia barangkali ada sekitar 0,3% di antara mereka itu, Fan. Kita bisa ambil peluang di sana," ujar Bagaskara saat mereka menikmati udara malam di teras depan rumah. Namun kalimat lelaki yang masih terlihat gagah di usianya itu, hanya berlalu bagai angin. Irfan masih saja melamun.

Dua cangkir hot cappucino latte dengan setangkup roti bakar, baru saja dikeluarkan oleh Bi Minah. Irfan menatap lurus ke arah barisan kaktus mini yang tersusun di pinggir teras. Pemuda itu senang mengoleksi berbagai jenisnya. Mulai dari Ariocarpus, yang memiliki daun berwarna hijau tua berbentuk prisma. Kaktus ini justru tidak memiliki duri sama sekali. Bunganya besar, hampir seukuran batangnya.  Kemudian echinocactus grusonii, yang memiliki bentuk seperti gentong. Duri-duri kecil berwarna kuning keemasan yang menutupi hampir seluruh permukaannya, membuat kaktus ini terlihat seperti gentong emas kecil. Hingga jenis kaktus yang terlihat semarak sekali, mammillaria fraileana. Permukaannya berbentuk bulat dan ditutupi oleh duri-duri panjang berwarna coklat kemerahan. Ukuran bunganya cukup besar. Dan jika sudah tumbuh, ia tidak hanya satu. Minimal tiga. Di sekitar batang utama, juga akan bermunculan batang-batang kecil dengan warna kontras. Terlihat meriah sekali.
Tanaman khas gurun pasir ini terawat dengan baik dan tertata rapi di taman kering teras depan.

"Kaktus adalah tanaman yang tangguh. Ia tidak butuh banyak air. Ia tidak meminta banyak tempat. Ia juga tidak memerlukan banyak pupuk. Namun kehadirannya tetap menunjukkan keindahan yang elegan." Kalimat Keysha dengan tiba-tiba merangsek masuk dalam lamunan Irfan.

"Aku tidak bisa memilih, dari rahim siapa aku ingin dilahirkan, dengan lingkungan seperti apa aku tumbuh,  dengan kondisi bagaimana aku menjalani hidup. Namun sebagaimana halnya kaktus, dengan segala keterbatasan yang ada, aku tetap ingin memberikan yang terbaik bagi sekelilingku. Membuat yang melihatku, merasa senang. Yang berada di dekatku, merasa nyaman. Aku ingin kuat, Fan ...." Kalimat Keysha saat terakhir ia memutuskan "hubungan" dengan Irfan, kembali terngiang.

Hijrah telah menjadi pilihannya. Gadis tomboi berambut pendek itu kini telah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang anggun dan cantik. Namun luka telah menorehkan perihnya yang begitu dalam. Mencerabut seluruh harapan yang Irfan tanam bertahun-tahun lamanya. Pertemuan tak terduga di Bandung yang lalu, seolah kembali memaksa pemuda itu merasakan luka yang sama. Lima tahun lalu. Saat senja sempurna memungkasi kota Jogja.







Menuju-MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang