Menuju-Mu (part.12)

43 2 0
                                    


Jangan paksakan kepakmu mengangkasa
Jika masih ada luka pada separuh sayap yang patah

******

"Kenapa sih, elu mau-maunya ngerawat Melati? Emang nggak repot? Kan, banyak yang kudu elu korbanin. Biaya, tenaga, waktu juga. Apalagi elu nyambi kuliah. Heran deh, gue!" Keysha akhirnya tidak tahan untuk memberikan komentar, setelah mendengar cerita Irfan yang panjang lebar.

Pemuda itu tertawa kecil. Sesekali ia melambaikan tangan ke arah kerumunan anak-anak yang berteriak memanggil-manggil namanya. Mereka masih asyik bermain. Berkejaran, melompat, berebut hadiah, tenggelam dalam gelak tawa. Melati juga terlihat sangat antusias. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, tangannya ikut bertepuk-tepuk. Naura terlihat sesekali mengambil tisu dan membersihkan air liur yang menetes dari bibir Melati.

"Kamu orang kesekian yang bilang begitu. Dulu, teman-temanku juga sempat heran. Protes, bahkan. Kata mereka : kenapa nggak kamu serahin aja ke dinas sosial, sih? Atau kalau nggak, titipin di panti asuhan yang bonafide sekalian? Kan tinggal ngasih uang bulanan aja, beres. Nggak perlu menjerumuskan diri ke dalam gulungan masalah yang nggak ada ujungnya," Irfan berkata sambil pandangannya menerawang jauh, ke arah matahari akan tenggelam.

"Awalnya aku juga sempat berpikir begitu. Toh, aku juga mampu membiayai seluruh kebutuhan Melati di panti asuhan. Tapi setiap menatap jauh ke dalam mata bening gadis kecil itu, aku seperti melihat sosok ringkih ... rapuh ... sedang menangis di sudut kamar. Ketakutan karena sang ibu tak juga pulang," pemuda jangkung yang biasanya terlihat tegar itu, kini seperti sedang menahan sesuatu yang mendesak ingin keluar dari sudut matanya.

"Fan ...." Keysha menjadi kikuk. Ia sungguh merasa nggak enak hati.

"Maaf Key, aku selalu begini kalau mengingat orang tuaku. Sentimentil. Hanya biar kamu tahu, bahwa setiap orang pasti memiliki masa lalunya sendiri. Tapi kalau kamu selalu menengok ke belakang, berarti kamu telah melewatkan banyak kesempatan untuk bisa berjalan lebih cepat menuju masa depan. Waktumu akan banyak terbuang percuma, Key."

"Hidup kadang tidak adil, Fan!" gadis itu masih tidak bisa menerima takdirnya.

Irfan tersenyum mendengar rutukan gadis di sebelahnya. Tangan pemuda itu lantas mengambil segenggam pasir yang baru saja dihempas ombak ke pinggir pantai. Meremasnya pelan, hingga butiran halusnya jatuh sedikit demi sedikit.

"Coba kamu perhatikan. Dari sejak kita datang tadi, sudah berapa kali sang ombak menyeret pasir-pasir ini ke tengah laut? Dia ditarik secara paksa, digulung dan diombang-ambingkan. Kemudian dihempas kembali ke bibir pantai. Berulang kali dia diperlakukan seperti itu oleh air laut. Tapi apa lantas sang pasir kecewa, putus asa, lalu memutuskan untuk menjadi batu saja? Yang bentuknya lebih keras, lebih besar, hingga tidak bisa dipermainkan begitu saja oleh ombak? Kan tidak, Key? Dia tetap melembutkan dirinya. Yang nyaman disentuh siapa saja. Menenangkan. Membuat anak-anak gembira karena bisa membuat rumah-rumahan pasir. Dia tetap patuh dan tunduk pada takdir Tuhan. Sebab memang begitulah tugasnya."

Keysha merasa sangat tertohok mendengar perkataan Irfan, sekaligus penasaran dengan masa lalu pemuda itu. Kenapa saat mengucapkan kata "ibu" suaranya tadi menjadi bergetar? Memang apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya? Bukankah dengan menjadi anak tunggal seorang pengusaha sukses, hidupnya cukup bahagia?

******

Senja yang matang.
Langit semakin terlihat eksotis dengan warna jingganya yang dominan. Mentari mulai lindap, perlahan ditelan laut. Sedikit demi sedikit, semesta berubah warna menjadi gelap.
Beberapa bendi masih melintas, membawa wisatawan asing maupun domestik menyusuri mulusnya permukaan pasir hitam. Para penikmat senja, kelihatan asyik mengabadikan gambar mereka dengan berlatar cakrawala. Langit, sungguh tampak sempurna.

Angin laut selatan beberapa kali mengusik rambut sebahu pemuda jangkung di samping Keysha. Setiap kali ia merapikan ikatannya, sekejap kemudian angin nakal mengacaukannya.

"Sudah maghrib, Key. Lebih baik kita sholat dulu. Aku akan mengajak mereka ke masjid, ya."

Irfan berlari kecil ke arah anak-anak yang masih berteriak-teriak memanggil namanya. Mereka melambaikan tangan sebagai isyarat agar pemuda itu cepat mendekat. Keysha berjalan pelan di belakang, sambil mengamati punggung pemuda di depannya.

"Melati mau sholat?" Erline berlutut hingga tingginya sejajar dengan gadis kecil di depannya. Ia mengusap lembut pipi Melati yang tersenyum mengangguk-anggukkan kepala. Rambut kepang duanya bergerak naik turun mengikuti.

"Oke, kita sholat di penginapan saja ya," lanjut Erline sambil mengacungkan ibu jarinya kepada Melati. Gadis kecil berusia 6 tahun itu tertawa senang. Ia ikut mengangkat tangan dan menempelkan ibu jarinya ke Erline.

Kursi roda didorong pelan, berjalan membelah butiran pasir, menuju penginapan di sekitar pantai. Namun baru saja menapaki teras depan penginapan, tiba-tiba ponsel Erline berbunyi. Dari Nadia, teman satu kost Tina.

"Keysha? Oh, dia masih di pantai. Mungkin sebentar lagi dia datang, Mba. Ada apa ya? Bisa saya sampaikan pesannya?"

Suara di seberang terdengar berbicara patah-patah. Sesekali diikuti isak yang tertahan. Degup di dada Erline bertambah kencang detaknya. Ia merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Apa?? Tinaa? Innalillahi ...."

******

Toyota Innova berwarna putih itu melesat membelah malam. Di luar kaca mobil masih terlihat riuh kehidupan kota Jogja yang memang tak pernah mati. Lampu-lampu di sepanjang pinggiran jalan menambah suasana semarak. Namun semua keramaian di sana, tak mampu mengusir resah yang telah sedari tadi melalap. Ya, tak satupun dari lima penumpang yang ada di dalamnya, berkata-kata. Sepertinya kebisuan telah menggerus ribuan kalimat yang tadi berlompatan dalam otak. Irfan menginjak pedal gas hingga lebih di angka 110. Pemuda itu terlihat tegang. Sesekali ia menekan rem secara tiba-tiba sambil melihat jam sporty hitam di pergelangan tangan kanannya.

Tina adalah sepupu terbaik Irfan. Usia mereka hanya terpaut beberapa bulan saja. Gadis periang dengan hati lembut itu adalah teman bermain pemuda itu sejak kecil. Sejak sang ibu meninggalkannya di malam yang berselimut hujan deras. Irfan kecil sungguh tak menyangka, bahwa pertengkaran kedua orang tuanya malam itu, menjadi hari terakhir untuk melihat wanita cantik yang telah melahirkannya ke dunia. Hari-harinya menjadi teramat sepi, hanya Tina kecil yang saat itu selalu setia menemaninya bermain setiap pulang sekolah hingga senja menjelang.

Waktu menunjukkan pukul 9.00 malam saat mereka memasuki kota Magelang yang mulai sepi. Gerimis kecil menambah sendu suasana. Irfan masih tak mengeluarkan sepatah kata. Dadanya sudah sejak tadi menggemuruh. Tuhan, tolong selamatkan Tina. Berulang kali hatinya memohon.
Keysha, duduk di seat paling belakang. Gadis itu tak juga berhenti menangis sejak berangkat dari Pantai Parang Tritis tadi.
"Tina kecelakaan, dia kritis" itu adalah kalimat terakhir yang tersisa di kepala Keysha. Beberapa kalimat selanjutnya sudah menguap entah ke mana. Dia lupa. Dan seperti orang linglung, gadis itu hanya duduk menyudut di teras penginapan dengan tatapan kosong ke arah hamparan gumuk pasir yang gelap. Hingga akhirnya tangisnya pecah dan menderas saat Irfan datang.

"Kita ke Magelang sekarang!" pemuda jangkung itu gegas mengambil jaket dan kunci mobil, setelah sempat menenangkan Keysha sesaat.

"Erlin, Naura, Keysha, Ilham, ikut aku. Jangan lupa, tolong sampaikan ke koordinator seksi acara dan perlengkapan. Aku titip anak-anak," lanjutnya.

Menuju-MuWhere stories live. Discover now